24 March 2009

Mencintai & dicintai

Kehidupan pernikahan kami awalnya baik2 saja menurutku. Meskipun menjelang pernikahan selalu terjadi konflik, tapi setelah menikah Mario tampak baik dan lebih menuruti apa mauku.
Kami tidak pernah bertengkar hebat, kalau marah dia cenderung diam dan pergi kekantornya bekerja sampai subuh, baru pulang kerumah, mandi, kemudian mengantar anak kami sekolah. Tidurnya sangat sedikit, makannya pun sedikit. Aku pikir dia workaholic.
Dia menciumku maksimal 2x sehari, pagi menjelang kerja, dan saat dia pulang kerja, itupun kalau aku masih bangun. Karena waktu pacaran dia tidak pernah romantis, aku pikir, memang dia tidak romantis, dan tidak memerlukan hal2 seperti itu sebagai ungkapan sayang.
Kami jarang ngobrol sampai malam, kami jarang pergi nonton berdua, bahkan makan berdua diluarpun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami, bukan obrolan yang terdengar, hanya denting piring yang beradu dengan sendok garpu.
Kalau hari libur, dia lebih sering hanya tiduran dikamar, atau main dengan anak2 kami, dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.
Aku mengira rumah tangga kami baik2 saja selama 8 tahun pernikahan kami. Sampai suatu ketika, disuatu hari yang terik, saat itu suamiku tergolek sakit dirumah sakit, karena jarang makan, dan sering jajan di kantornya, dibanding makan dirumah, dia kena typhoid, dan harus dirawat di RS, karena sampai terjadi perforasi di ususnya. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang menjenguknya. Dia memperkenalkan diri, bernama meisha, temannya Mario saat dulu kuliah.
Meisha tidak secantik aku, dia begitu sederhana, tapi aku tidak pernah melihat mata yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah, penuh kehangatan dan penuh cinta, ketika dia berbicara, seakan2 waktu berhenti berputar dan terpana dengan kalimat2nya yang ringan dan penuh pesona. Setiap orang, laki2 maupun perempuan bahkan mungkin serangga yang lewat, akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.
Meisha tidak pernah kenal dekat dengan Mario selama mereka kuliah dulu, Meisha bercerita Mario sangat pendiam, sehingga jarang punya teman yang akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu, karena ada pekerjaan kantor mereka yang mempertemukan mereka. Meisha yang bekerja di advertising akhirnya bertemu dengan Mario yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya bekerja.
Aku mulai mengingat2 5 bulan lalu ada perubahan yang cukup drastis pada Mario, setiap mau pergi kerja, dia tersenyum manis padaku, dan dalam sehari bisa menciumku lebih dari 3x. Dia membelikan aku parfum baru, dan mulai sering tertawa lepas. Tapi disaat lain, dia sering termenung didepan komputernya. Atau termenung memegang Hp-nya. Kalau aku tanya, dia bilang, ada pekerjaan yang membingungkan.
Suatu saat Meisha pernah datang pada saat Mario sakit dan masih dirawat di RS. Aku sedang memegang sepiring nasi beserta lauknya dengan wajah kesal, karena Mario tidak juga mau aku suapi. Meisha masuk kamar, dan menyapa dengan suara riangnya,
” Hai Rima, kenapa dengan anak sulungmu yang nomor satu ini ? tidak mau makan juga? uhh… dasar anak nakal, sini piringnya, ” lalu dia terus mengajak Mario bercerita sambil menyuapi Mario, tiba2 saja sepiring nasi itu sudah habis ditangannya. Dan….aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang terpancar dari mata suamiku, seperti siang itu, tidak pernah seumur hidupku yang aku lalui bersamanya, tidak pernah sedetikpun !
Hatiku terasa sakit, lebih sakit dari ketika dia membalikkan tubuhnya membelakangi aku saat aku memeluknya dan berharap dia mencumbuku. Lebih sakit dari rasa sakit setelah operasi caesar ketika aku melahirkan anaknya. Lebih sakit dari rasa sakit, ketika dia tidak mau memakan masakan yang aku buat dengan susah payah. Lebih sakit daripada sakit ketika dia tidak pulang kerumah saat ulang tahun perkawinan kami kemarin. Lebih sakit dari rasa sakit ketika dia lebih suka mencumbu komputernya dibanding aku.
Tapi aku tidak pernah bisa marah setiap melihat perempuan itu. Meisha begitu manis, dia bisa hadir tiba2, membawakan donat buat anak2, dan membawakan ekrol kesukaanku. Dia mengajakku jalan2, kadang mengajakku nonton. kali lain, dia datang bersama suami dan ke-2 anaknya yang lucu2.
Aku tidak pernah bertanya, apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu? karena tanpa bertanya pun aku sudah tahu, apa yang bergejolak dihatinya.
Suatu sore, mendung begitu menyelimuti jakarta, aku tidak pernah menyangka, hatikupun akan mendung, bahkan gerimis kemudian.
Anak sulungku, seorang anak perempuan cantik berusia 7 tahun, rambutnya keriting ikal dan cerdasnya sama seperti ayahnya. Dia berhasil membuka password email Papa nya, dan memanggilku, ” Mama, mau lihat surat papa buat tante Meisha ?”
Aku tertegun memandangnya, dan membaca surat elektronik itu,
Dear Meisha,
Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta seperti ini, bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku.
Ketika aku menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh2 mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku memandangmu, tidak ada perasaan rindu yang tidak pernah padam ketika aku tidak menjumpainya.. Aku hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik2 terjadi saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa, tapi aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa, meskipun aku menikahinya.
Aku tidak tahu, bagaimana caranya menumbuhkan cinta untuknya, seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami, seperti pohon2 beringin yang tumbuh kokoh tanpa pernah mendapat siraman dari pemiliknya. Seperti pepohonan di hutan2 belantara yang tidak pernah minta disirami, namun tumbuh dengan lebat secara alami. Itu yang aku rasakan.
Aku tidak akan pernah bisa memilikimu, karena kau sudah menjadi milik orang lain dan aku adalah laki2 yang sangat memegang komitmen pernikahan kami. Meskipun hatiku terasa hampa, itu tidaklah mengapa, asal aku bisa melihat Rima bahagia dan tertawa, dia bisa mendapatkan segala yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh hartaku dan tubuhku, tapi tidak jiwaku dan cintaku, yang hanya aku berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku hanya berharap bahwa engkau mengerti, you are the only one in my heart.
yours,
Mario
Mataku terasa panas. Jelita, anak sulungku memelukku erat. Meskipun baru berusia 7 tahun, dia adalah malaikat jelitaku yang sangat mengerti dan menyayangiku.
Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain.
Aku mengumpulkan kekuatanku. Sejak itu, aku menulis surat hampir setiap hari untuk suamiku. Surat itu aku simpan diamplop, dan aku letakkan di lemari bajuku, tidak pernah aku berikan untuknya.
Mobil yang dia berikan untukku aku kembalikan padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa2 uang belanja, lalu aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak2ku. Mario merasa heran, karena aku tidak pernah lagi bermanja dan minta dibelikan bermacam2 merek tas dan baju. Aku terpuruk dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena aku malu terlalu lama pacaran, sedangkan teman2ku sudah menikah semua. Ternyata dia memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.
Betapa tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu, bahwa aku juga seorang perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya ? Kenapa dia tidak mengatakan saja, bahwa dia tidak mencintai aku dan tidak menginginkan aku ? itu lebih aku hargai daripada dia cuma diam dan mengangguk dan melamarku lalu menikahiku. Betapa malangnya nasibku.
Mario terus menerus sakit2an, dan aku tetap merawatnya dengan setia. Biarlah dia mencintai perempuan itu terus didalam hatinya. Dengan pura2 tidak tahu, aku sudah membuatnya bahagia dengan mencintai perempuan itu. Kebahagiaan Mario adalah kebahagiaanku juga, karena aku akan selalu mencintainya.
**********
Setahun kemudian…
Meisha membuka amplop surat2 itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu masih basah merah dan masih dipenuhi bunga.
Mario, suamiku….
Aku tidak pernah menyangka pertemuan kita saat aku pertama kali bekerja dikantormu, akan membawaku pada cinta sejatiku. Aku begitu terpesona padamu yang pendiam dan tampak dingin. Betapa senangnya aku ketika aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku mencintaimu, dan begitu posesif ingin memilikimu seutuhnya. Aku sering marah, ketika kamu asyik bekerja, dan tidak memperdulikan aku. Aku merasa diatas angin, ketika kamu hanya diam dan menuruti keinginanku… Aku pikir, aku si puteri cantik yang diinginkan banyak pria, telah memenuhi ruang hatimu dan kamu terlalu mencintaiku sehingga mau melakukan apa saja untukku…..
Ternyata aku keliru…. aku menyadarinya tepat sehari setelah pernikahan kita. Ketika aku membanting hadiah jam tangan dari seorang teman kantor dulu yang aku tahu sebenarnya menyukai Mario.
Aku melihat matamu begitu terluka, ketika berkata, ” kenapa, Rima ? Kenapa kamu mesti cemburu ? dia sudah menikah, dan aku sudah memilihmu menjadi istriku ?”
Aku tidak perduli,dan berlalu dari hadapanmu dengan sombongnya.
Sekarang aku menyesal, memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan.
Istrimu,
Rima”
Di surat yang lain,
“………Kehadiran perempuan itu membuatmu berubah, engkau tidak lagi sedingin es. Engkau mulai terasa hangat, namun tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku, seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua bola matamu saat memandang Meisha……”
Disurat yang kesekian,
“…….Aku bersumpah, akan membuatmu jatuh cinta padaku.
Aku telah berubah, Mario. Engkau lihat kan, aku tidak lagi marah2 padamu, aku tidak lagi suka membanting2 barang dan berteriak jika emosi. Aku belajar masak, dan selalu kubuatkan masakan yang engkau sukai. Aku tidak lagi boros, dan selalau menabung. Aku tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku selalu tersenyum menyambutmu pulang kerumah. Dan aku selalu meneleponmu, untuk menanyakan sudahkah kekasih hatiku makan siang ini? Aku merawatmu jika engkau sakit, aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi, aku menungguimu sampai tertidur disamping tempat tidurmu, dirumah sakit saat engkau dirawat, karena penyakit pencernaanmu yang selalu bermasalah…….
Meskipun belum terbit juga, sinar cinta itu dari matamu, aku akan tetap berusaha dan menantinya……..”
Meisha menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata indahnya… dipeluknya Jelita yang tersedu-sedu disampingnya.
Disurat terakhir, pagi ini…
“…………..Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu engkau tidak pulang kerumah, tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang, karena hari ini aku akan masak, masakan yang paling enak sedunia. Kemarin aku belajar membuatnya dirumah Bude Tati, sampai kehujanan dan basah kuyup, karena waktu pulang hujannya deras sekali, dan aku hanya mengendarai motor.
Saat aku tiba dirumah kemarin malam, aku melihat sinar kekhawatiran dimatamu. Engkau memelukku, dan menyuruhku segera ganti baju supaya tidak sakit.
Tahukah engkau suamiku,
Selama hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari matamu, inikah tanda2 cinta mulai bersemi dihatimu ?………”
Jelita menatap Meisha, dan bercerita,
” Siang itu Mama menjemputku dengan motornya, dari jauh aku melihat keceriaan diwajah mama, dia terus melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu, dia begitu cantik. Meskipun dulu sering marah2 kepadaku, tapi aku selalu menyayanginya. Mama memarkir motornya diseberang jalan, Ketika mama menyeberang jalan, tiba2 mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi…… aku tidak sanggup melihatnya terlontar, Tante….. aku melihatnya masih memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak……” Jelita memeluk Meisha dan terisak-isak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit di hatinya, tapi dia sangat dewasa.
Meisha mengeluarkan selembar kertas yang dia print tadi pagi. Mario mengirimkan email lagi kemarin malam, dan tadinya aku ingin Rima membacanya.
Dear Meisha,
Selama setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda, dia tidak lagi marah2 dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan, aku sangat khawatir dan memeluknya. Tiba2 aku baru menyadari betapa beruntungnya aku memiliki dia. Hatiku mulai bergetar…. Inikah tanda2 aku mulai mencintainya ?
Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan, Meisha. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya, aku akan membelikan mobil mungil untuknya, supaya dia tidak lagi naik motor kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak2ku, tapi karena dia belahan jiwaku….
Meisha menatap Mario yang tampak semakin ringkih, yang masih terduduk disamping nisan Rima. Diwajahnya tampak duka yang dalam. Semuanya telah terjadi, Mario. Kadang kita baru menyadari mencintai seseorang, ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan kita.

05 March 2009

Satu Kata,,, " M A A F "

the most touching stories T,T

Siantan-Pontianak, 20 Juli 2004

Wanita itu terbaring dengan serangkaian selang di sekujur tubuhnya. Komplikasi penyakit jantung, darah tinggi, dan paru-paru menggerogoti bobotnya yang dulu subur berisi. Dari balik selimut terlihat jelas tulang-belulangnya tersembul. Sebentar-sebentar kepalanya mendongak mencari aliran udara, menghirup, dan mengeluarkan napas dengan tersengal-sengal. Ia tampak tersiksa sekali.

Aku mengintip dari kaca pintu, ragu-ragu untuk masuk.
Bukan saja karena takut, tapi juga karena enggan.
Enggan melihat kondisi sakitnya, enggan bertegur sapa
dengan orang-orang yang mungkin ada di dalam ruangan
itu, dan enggan berdamai dengan perasaan sakit hati
yang selama belasan tahun terpupuk hebat dalam hatiku.
Tak mudah menghapus luka lama. Siang ini aku baru saja
sampai di Jakarta, setelah tiga hari mengikuti pameran
di Bali. Taksi yang
kutumpangi dari bandara sudah
berhenti di depan rumah. Ponselku tiba-tiba
berbunyi."Pulanglah , Mei Cen. Waktunya sudah tiba, "
suara yang sudah sangat kukenal langsung menyergap
pendengaranku.

Aku tertegun, sementara sopir taksi sudah melotot tak
sabar, hendak menagih ongkos. " Jangan keraskan hati
lagi, sudah saatnya mengakhiri semua kebencian.
Pulanglah, atau kau akan menyesal seumur hidup! "
suara itu kembali terdengar, kali ini nadanya
menyakitkan.

Sudah hampir sebulan ini, kata-kata yang sama
didengungkan terus oleh Sang penelepon. Aku sudah
katakan padanya, tak perlu repot-repot membujuk lagi.
Aku tetap pada keputusanku, tidak bersedia memenuhi
keinginannya. Titik.

Namun, anehnya, saat berada di Bali, ketika seharusnya
aku sibuk mengamati pernak-pernik kegiatan pameran,
aku malah sering terbengong-bengong. Seperti mantra,
isi pesan telepon itu berbalik menghantui, membuat

setiap detik hidupku menjadi seperti bara api. Batinku
bergolak hebat. Antara rasa saying dan dendam. Antara
rasa iba dan kepongahan. Sejujurnya, aku sudah merasa
sangat letih menanggung beban ini. Mungkin, Tuhan
memang khusus merencanakan saat ini untuk
mempertemukan kami berdua. Saat kami harus bicara
tentang kepahitan masa lalu.

Dengan tangan masih memegang ponsel erat-erat, aku
menghitung dalam hati.Sudah berapa lama kenangan buruk
itu menyiksaku? Lebih dari lima belas tahun. Sama
sekali bukan waktu yang sebentar. Jauh dari dalam
lubuk hati, aku benar-benar ingin mengakhiri semuanya.
Mulai belajar memaafkan lagi, belajar menyayangi lagi,
belajar melupakan segala sesuatu yang telah terjadi,
belajar untuk memiliki hati dan jiwa yang baru. Ya,
aku harus segera memulainya. Sekarang. Dengan mantap,
aku meminta sopir taksi memutar kembali mobilnya dan
mengantarku ke bandara.

Karena ada
kerusakan teknis, lewat pukul delapan malam
barulah pesawat mendarat di Pontianak. Untuk sampai di
rumah sakit tempat Mama dirawat, aku masih harus
meneruskan perjalanan sekitar empat puluh menit lagi
Menggunakan mobil sewaan. Di dalam mobil yang pengap
karena asap rokok dan keringat lima orang lainnya, aku
kembali mempertanyakan niat hatiku.. Bagaimana jika
Mama menolak bertemu denganku? Bagaimana jika ternyata
seluruh keluarga juga ikut menghina, lalu mengusirku?
Kalau itu yang terjadi, berarti harga diriku akan
remuk dua kali, tanpa sisa sedikit pun. Ya, Tuhan,
sudah benarkah keputusanku kali ini?

Di depan salah satu kamar rumah sakit, aku melangkah
mondar-mandir tak keruan. Ternyata, bukan hal mudah
untuk masuk ke dalamnya, lalu menyapa, "Apa kabar,
Mama? Aku sudah datang! " Untuk menenangkan jantungku
yang rasanya berdebar tiga kali lebih cepat, aku
segera menyingkir ke ujung lorong yang redup.
Dengan
gelisah aku bersandar di tembok, sambil berulang kali
mengetukkan hak sepatu di lantai yang kusam.

Alangkah jahatnya! Aku memang anak durhaka! Begitu
teganya aku membiarkan dia terkapar sendirian di dalam
sana, sekarat menghadapi ajal. Padahal, aku sudah
mengetahui penyakitnya sejak tiga tahun lalu, tapi tak
pernah sekali pun aku berniat menjenguknya, apalagi
mendampingi di saat-saat terakhirnya.

Tapi, hei... tunggu dulu! Jahat? Aku jahat? Bukankah
wanita itu jauh lebih jahat? Lihat saja apa yang
selama ini dia lakukan padaku! Dia bukan saja tidak
mengasihiku, tapi juga ingin melenyapkanku dengan
segala macam cara.Dia ingin membunuhku! Aku, darah
dagingnya sendiri.

Masih teringat jelas pertengkaran kami yang terakhir,
yang terhebat, dan yang paling tak bisa kulupakan.
Setiap suku katanya bahkan masih aku hafal dengan
jelas.

"Waktu itu Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen.

Mengertilah sedikit! Pikirmu, cuma kamu yang susah,
cuma kamu yang dapat masalah? Kamu tidak pikirkan
bagaimana keadaan Mama? Enak saja kamu bicara,
sepertinya paling pintar sedunia! Semua yang kalian
pakai dan makan itu hasil jerih payah Mama, tapi kamu
sama sekali tidak tahu terima kasih. Tidak tahu balas
budi!
Anak tidak tahu diuntung! Benar-benar anak pembawa
sial! "

Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi
kepala. Anak pembawa sial, itulah ungkapan yang paling
sering aku terima selama tinggal di rumah ini

"Mama tidak perlu khawatir lagi soal uang! Mulai
sekarang, tanggungan Mama berkurang satu. Aku akan
mengganti setiap rupiah yang Mama pakai untuk
membiayai hidupku selama ini. Setiap rupiah! Aku
bersumpah, tidak akan pernah menginjak rumah ini lagi!
Akan kubuktikan, aku bisa hidup tanpa kalian! "
jeritku membabi buta, lalu menerjang kamar, dan
mengemas barang-barangku.


"Silakan! Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali
kamu minggat dari rumah ini, selamanya pintu ini
tertutup buatmu! Kamu dengar itu? Dasar anak sinting!
Sejak di kandungan saja sudah bikin pusing, sudah
besar tambah bikin masalah! Anak kurang ajar, anak
durhaka! Makin cepat kamu keluar dari rumah ini, makin
baik! " teriak Mama, melengking tinggi

Dengan berurai air mata, aku lemas terduduk di tepi
ranjang. Malang benar nasibku. Lahir tak dikehendaki,
hidup pun tak punya arti. Berjam jam lamanya aku
menangisi diri, sambil memasukkan barang-barangku yang
tak seberapa banyak. Aku tak tahu akan ke mana. Tapi,
keinginanku saat itu hanya satu Pergi jauh dan tidak
kembali lagi

Hanyut dalam lamunan, pipiku mulai dibasahi air mata.
Kejadian yang lalu itu menyisakan dendam dan kebencian
luar biasa di antara aku dan Mama. Aku bertekad, tak
ingin lagi menggoreskan namanya dalam hidupku. Begitu

juga sebaliknya. Kami bertahan dalam benteng
pembenaran diri sendiri.Aku berjuang luar biasa keras
demi memenuhi sesumbar sumpahku, tanpa pernah berpikir
untuk kembali ke kota ini lagi.

Tapi, suratan hidup tampaknya tak bisa diganggu gugat.
Sampai akhirnya, sekarang aku ada di sini. Duduk
menatap langit, tak tahu harus berbuat apa. Bulan di
ujung rimbunan pohon rupanya sedang malas menyembulkan
sinarnya, membuat kulit tanganku makin pucat dan
gemetar. Air mataku menetes lagi.

September 1968
Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Rasanya, ruangan
ini tak sama dengan yang kemarin. Tidak ada mainan
bola yang digantung di atas kepala. Tidak ada gambar
ikan berenang dilukis di tembok. Tidak ada balon
warna-warni melambai di dekat jendela. Sambil
menggeliat melemaskan otot yang masih agak kaku, aku
menelengkan kepala. Kenapa sepi sekali? Mana
teman-temanku? Bukankah semestinya mereka juga ada di

sini, berbaring berjajar dalam boks yang
bersekat-sekat? Biasanya teriakan mereka membuat aku
marah. Berisik sekali. Walaupun agak menyebalkan, aku
sayang pada mereka.

Ingat soal minum, perutku lapar bukan main. Biasanya,
wanita berbaju dan bertopi putih selalu datang untuk
memandikan dan mendandaniku dengan bedak wangi.
Setelah itu, dia pasti akan mengayun-ayun, sambil
menyorongkan botol susu ke mulutku. Ah, enaknya! Aku
mulai menggesek gesekkan kaki, terasa lengket. Kenapa,
sih, tidak ada yang mengganti popokku? Basah dan
dingin menempel di kulit, belum lagi ditambah tiupan
angin dari jendela kayu yang terbuka. Coba tunggu
sebentar lagi, siapa tahu wanita berbaju dan bertopi
putih akan muncul dan menyapaku seperti biasa, " Halo
manis, sudah bangun? "Tapi, setelah lama menunggu,
pintu itu tetap tertutup. Aduh, aku sudah tak sabar
lagi.

Mendadak pintu terbuka dengan keras, membuatku spontan

berteriak kaget. Seseorang berjalan masuk. Siapa
wanita ini? Kenapa dia tidak berbaju dan bertopi
putih? Sambil terisak-isak dengan muka merah, aku
mencoba mengingat. Wah, mukanya tidak ramah. Aku pikir
dia akan segera menggendong dan memberiku minum, tapi
... .Hei, dia kembali berjalan ke arah pintu, membuka,
dan menutupnya lagi, seolah tidak peduli pada
tangisanku.

Kenapa aku sendirian, dibiarkan kelaparan dan
kedinginan seperti ini? Huh, lebih enak tinggal di
perut Ibu. Mau makan, tinggal isap. Makanan akan
langsung sampai di depan mulut. Mau berhangat-hangat,
tinggal bergelung di selimut cairan ketuban. Semua
serba enak, tidak perlu capai-capai menangis jika
ingin sesuatu Ups! Tunggu dulu! Ibu? Apakah wanita
yang tadi datang itu ibuku? Bisa jadi. Berarti, aku
sudah ada di rumah dan ini kamarku? Asyik juga, paling
tidak aku tidak perlu repot berdesak-desakan tempat
dengan teman-teman lain
seperti kemarin. Tidak perlu
berebut minum, mainan, dan berebut minta perhatian.
Aku sendirian. Hore! Aku jadi raja! Enak juga, ya,
punya ibu. Tapi, mana dia? Oh, itu dia datang lagi.
Tapi, kenapa, sih, dia selalu membuka dan menutup
pintu de-ngan suara sekeras itu? Telingaku jadi sakit.
Aku menangis lagi.

Tangisanku makin keras ketika wanita itu menyentuh dan
menyekaku dengan kasar. Rupanya, dia marah padaku
karena buang air besar. Lalu bagaimana lagi? Umurku
kan baru 5 hari? Aku belum bisa membersihkan kotoranku
sendiri. Minumnya mana, Bu? Yah, kok, susunya
dingin... . Tapi, biarlah, daripada tidak sama sekali.
Karena kelaparan dan hanya disuguhi sedikit, aku
melengkingkan suara, tanda minta tambah. Walau dengan
muka galak dan mulutnya mengomel, dia memberiku
sedikit susu lagi.

Setelah menutup jendela, ia lalu membuka bajuku dan
menyeka dengan air hangat. Aku asyik memerhatikan
wajahnya.
Rasanya, wanita berbaju dan bertopi putih
yang selalu menemaniku lebih cantik dan kurus, juga
harum. Sedangkan wanita di depanku bertubuh agak gemuk
dan memiliki raut wajah keras. Pakaiannya mirip
seperti gorden. Tapi, tak apa, dia adalah ibuku.
Hmm... enaknya aku panggil apa, ya? Ibu, Mama, Mami,
atau Bunda? Lebih enak Mama.Mudah mengucapkannya.

Wah, setelah mandi aku merasa lebih segar, walau masih
kedinginan. Bajuku bertangan pendek, tanpa dibalut
kain bedong, tanpa kaus kaki. Bawa aku berjemur di
luar, Mama. Sinar matahari begitu menggoda untuk
disapa pagi ini. Atau, kalau tidak, dekaplah aku
sebentar di dada Mama, karena aku ingin kehangatan.

Aku mencoba menggapai tangan Mama, menampilkan senyum
termanisku, berharap ia akan tertawa dan menggelitiki
pipiku. Tapi, Mama malah membenahi ember dan baju
kotor, lalu kembali menghilang dari balik pintu.
Sia-sia aku menunggunya terus pagi ini, berharap
ia
mau bermain denganku sejenak. Sepanjang sisa hari itu
Mama hanya menjengukku tiga kali. Datang melongok
untuk mengganti popok dan menyodorkan botol susu yang
isinya tak banyak

Malam hari, aku tidur bersebelahan dengan Mama. Dia
hanya mengayunku sebentar, tidak memberi pelukan
selamat tidur atau ciuman. Aku menangis sedih karena
ingin dininabobokan, tapi Mama malah membalikkan
tubuh, memunggungiku. Aku mulai protes dan meronta,
tapi yang kudapat adalah cubitan kecil di kaki.
Sakitnya ... . Lagi-lagi aku menjerit. Makin
melengking suaraku, makin dalam Mama menekuk tubuhnya.

Akhirnya, aku menyerah. Karena lelah mengisi hari
dengan terlalu banyak tangisan, akhirnya aku tertidur
dengan mengulum jempol tanganku. Ini hari pertamaku
datang ke rumah, bertemu sosok Mama yang sudah
sembilan bulan mengisi bagian hidupku, tapi aku sudah
merasa tertolak.

Januari 1972
Seluruh kejadian itu
berulang terus hingga aku
menginjak tiga tahun. Walau setiap malam aku tidur
dengan Mama, aku hampir tak pernah mendapat pelukan
dan ciuman sayang. Paling-paling hanya usapan di
kepala. Kata-kata manis, nyanyian kecil, atau dongeng
pengantar tidur juga tak aku dapatkan.

Biasanya, kalau Mama bicara, kalimatnya pendek-pendek
dan nadanya datar, kadang-kadang agak membentak.
Padahal, aku ingin tahu rasanya bermanja-manja,
apalagi jika aku sedang sakit. Badan rasanya sungguh
tak enak, tidur tak nyenyak, makan pun tak suka. Kalau
saja Mama mau sedikit memanjakan aku dengan pelukan,
aku sudah cukup terhibur.

Bukan cuma dalam hal sentuhan dan kata-kata saja Mama
bersikap pelit, soal keperluanku yang lain juga
begitu. Makan dijatah, minum susu dibatasi. Kalau
masih lapar, minum saja air putih banyak-banyak,
begitu kata Mama. " Di rumah ini bukan cuma kamu yang
butuh makan, Mei Cen. Masih ada enam kakak,
dua kakak
ipar, Tante Lin, Oma, dan Mama. Kita harus saling
berbagi,jelas? "tegur Mama galak, ketika suatu kali aku
merengek minta porsi daging gorengku ditambah.

Porsi makan kami di rumah adalah dua kali sehari,
sekerat kecil daging dan separuh bagian telur satu
kali seminggu, sementara sisanya adalah sayur-mayur
saja. Mula-mula, tentu saja aku menolak aturan itu
dengan tangisan merajuk dan mulai menga-muk. Tapi,
setelah merasakan panasnya sabetan tangan Mama di
pantatku, lama-kelamaan aku jadi terbiasa dan bisa
belajar menahan lapar lebih lama.

Mandi cukup satu kali saja sehari, malah kalau perlu
cuci muka saja sepanjang minggu. Irit air, irit sabun.
Kalau kutanya mengapa, jawab Mama singkat saja, "
Karena kita bukan orang kaya, Mei Cen. Mengertilah
sedikit.
"Tentu saja aku belum bisa mengerti apa arti perkataan
itu, seperti juga ketidakmengertianku tentang kondisi
tangan dan kakiku.


Kedua kakiku selalu ditutup kain menyerupai sepatu dan
tidak boleh dilepas kecuali mandi atau tidur. Tanganku
juga. Padahal, aku sudah bilang pada Mama bahwa aku
kepanasan. Mama berkeras mengatakan bahwa tangan dan
kakiku sedang tumbuh membesar. Jadi, harus dibungkus
dengan telaten supaya pertumbuhan tulangnya bagus.
Seperti buah mangga saja, katanya. Rapat-rapat
dibungkus supaya cepat masak.

Kalau kain yang melilit tangan dan kaki itu sering
dibuka, nanti pertumbuhannya terganggu, begitu Mama
berpesan. Masih belum cukup dengan penjelasannya, Mama
merasa perlu untuk mengancam akan memukuli dan
mengunciku di kamar gelap berhari-hari, jika aku
berani membuka ikatan di tangan dan kakiku, tanpa
seizinnya. Jadi, dengan sangat terpaksa aku mengangguk
mengiyakan

Pekerjaanku setiap hari hanya duduk bermain di pojok
kamar, ditemani dua boneka bekas yang sudah kumal.
Mama tidak mengizinkanku
keluar rumah. Tak pernah aku
merasakan nikmatnya jalan-jalan pagi, melihat
kerumunan burung, berkejaran di tanah lapang, atau
naik sepeda di sore hari. Hari-hariku diisi dengan
sepi, tak punya teman bicara. Seisi rumah terlalu
si-buk untuk diajak bermain. Mama dan adiknya, Tante
Lin, harus banting tulang mencari uang karena Papa
sudah tak ada.

Mohan Liaw, ayahku yang berdarah Dayak-Tionghoa itu,
semasa hidupnya bekerja sebagai penggali sumur. Ia
meninggal karena kecelakaan lalu lintas ketika aku
masih berada dalam kandungan. Dua kakak laki-laki
tertua sudah menikah, tapi masih tinggal serumah.
Empat kakak lain punya urusan sendiri karena mereka
sudah beranjak remaja dan lebih senang bermain dengan
teman pria daripada bermain masak-masakan dengan aku.

Setiap hari pukul dua pagi, Mama dan dua kakak
laki-lakiku sudah beranjak pergi ke peternakan di luar
kota untuk membeli puluhan ayam. Pulang ke
rumah,
mereka dibantu empat kakak perempuan mencabuti
bulu-bulu ayam dan memotongnya. Pukul lima pagi, Mama
dan dua kakak ipar membawanya ke pasar untuk dijual.
Pulang ke rumah saat menjelang sore, Mama sudah
kelihatan sangat lelah dan aku tidak boleh
mengganggunya dengan rengekan untuk menemaniku
bermain. Aku juga tidak boleh mengganggu Tante Lin
yang sudah lelah karena setiap hari harus membuat
kue-kue untuk dijual.

Bermain dengan Oma? Yang benar saja, umur Oma sudah 84
tahun. Kakinya lumpuh, bicaranya sudah tak jelas,
telinganya pun tak berfungsi baik. Kerjanya sama
denganku. Setiap hari hanya duduk-duduk melamun saja
di kursi. Walau begitu, Oma baik karena setiap hari
dia pasti memberiku uang, sekadar lima puluh atau
seratus rupiah. Aku rajin menyimpannya dalam kotak
kecil yang kuamankan di kolong ranjang.

Dibandingkan Mama yang banyak bepergian, Tante Lin
lebih memungkinkan untuk
menemaniku berlama-lama di
rumah. Mengajariku bicara, membacakan buku cerita,
menyuapi makan, bahkan membopongku ke kamar mandi
karena aku belum bisa berjalan. Hal yang mengherankan.
Karena, aku sering melongok dari jendela dan melihat
beberapa anak tetangga seumurku sudah pandai berjalan,
bahkan berlari mengejar layang-layang. Sedangkan aku
... berjalan saja tidak bisa. Kalau aku mencoba
berdiri, pasti jatuh. Sakit dan ngilu sekali rasanya.

"Mestinya aku sudah bisa berjalan kan, Ma? " tanyaku
suatu sore.
Tampaknya, Mama tidak mendengar sehingga aku harus
mengulang pertanyaanku beberapa kali. Kali keempat
barulah Mama mengangkat wajah dari tumpukan baju kotor
yang tengah dicucinya. Ia terdiam sebentar, lalu
menjawab lirih,

"Kakimu belum kuat untuk diajak berjalan.
"Karena kakiku bengkok? "
"Bukan! Umurmu masih kecil, jadi belum bisa jalan
sendiri. "
"A Ming dan Budi seumur denganku,
tapi mereka sudah
pandai berjalan. "
"Mereka lain! Mereka anak laki-laki, kaki mereka lebih
kuat. "
"Oh ... . " Aku mencoba mencerna penjelasan Mama.
Mungkin, betul juga penjelasan Mama. Aku percaya
padanya, Mama tak mungkin bohong
"Lalu, kapan kakiku kuat, Ma?
"Nanti, kalau kamu sudah besar.
"Kapan aku besar, Ma? "
"Nanti, kalau sudah berumur lima tahun. "
"Oh ... . " Aku menghitung-hitung dalam hati. Itu
berarti aku harus menunggu dua tahun lagi. Hmm ...
tidak terlalu lama.
"Lalu, tanganku? Kenapa tanganku juga harus selalu
ditutup, Ma? "

Kali ini Mama menghela napas, sambil menghapus
keringat di dahi dengan punggung tangannya. "Supaya
tanganmu tidak kedinginan, Mei Cen. Kalau kedinginan,
tanganmu sering kram.

"Kram itu apa? '
"Kejang, susah bergerak. "
"Tapi, nanti tanganku bisa sembuh? "
"Ya, kalau kamu sudah besar. '
"Kalau aku sudah berumur lima tahun? "
"Ya. "

"Tidak perlu pakai kain lagi? "
"Ya. "
"Sungguh? Mama tidak bohong, ' kan? Mama janji? "
kejarku dengan nada menuntut. Dalam hati, aku gembira
bukan alang kepalang. Asyik, sebentar lagi aku bisa
berjalan!

Aku begitu sangat merindukan datangnya hari ulang
tahunku yang kelima.Berharap bisa berjalan dan berlari
sekuat macan, dan tanganku tak lagi disarungi kain
seperti bantal. Sambil menunggu saat yang Mama
janjikan itu, aku tetap berusaha belajar berjalan.
Minta ampun susahnya! Mencoba berdiri dengan
berpegangan pada semua benda yang ada, lalu menyeret
kaki untuk melangkah satu dua. Sakitnya jangan
ditanya, tapi aku tetap memaksakan diri. Lutut dan
siku sudah lebam biru keunguan terkena benturan setiap
kali aku terjatuh. Tidak cuma itu. Aku juga sulit
menggerakkan jemari tangan untuk mengambil sesuatu,
apalagi barang yang kecil. Memegang sendok atau
menjumput kancing, misalnya. Jari-jari
tangan rasanya
kaku dan aneh.

Dan, lagi-lagi Tante Lin datang sebagai penyelamat. Ia
berbaik hati meluangkan waktu istirahatnya untuk
melatihku menggerakkan kaki dan tangan, sementara Mama
dan kakak-kakakku tidak bisa terlalu diharapkan.
Karena terlalu memaksa diri berlatih, aku jadi sering
menangis karena kesakitan dan kelelahan. Tapi, setiap
kali itu juga ucapan Mama bahwa pada umurku yang
kelima aku akan bisa berjalan, datang menyemangatiku.

Setiap hari aku rutin mencoreti kalender dengan spidol
merah, menghitung hari demi hari, takut kalau ulang
tahunku yang kelima bakal terlewat. Nanti aku akan
memakai baju terbagus dan mengundang semua teman
tetanggaku untuk merayakannya, sambil bermain
kejar-kejaran di halaman rumah. Pasti menyenangkan
sekali. Cepatlah datang, cepatlah datang! Aku sudah
tidak sabar menanti.

September 1973-1983
Sayangnya, mimpi itu tak pernah jadi kenyataan.
Tepat
di hari ulang tahunku yang kelima, saat ayam masih
belum berkokok, aku sudah bangun. Kunyalakan lampu,
turun dari ranjang, lalu me-rayap, sambil berpegangan
pada besi tempat tidur. Sesampainya di depan lemari
kaca, aku mencoba berdiri tegak dan berjalan. Tapi,
baru beberapa langkah, aku jatuh dan menabrak meja.
Suara dentuman keras langsung membangunkan Mama,
berbarengan dengan jatuhnya botol-botol kaca dan
gelas.

"Apa-apaan, sih, Mei Cen? " teriak Mama, ketika
melihatku terduduk di antara remukan kaca. Mama
memapahku kembali ke ranjang.
Aku menangis keras. " Aku tak bisa jalan! Aku tetap
tidak bisa jalan!"
"Kamu kenapa? Kalau mau ambil sesuatu, bilang pada
Mama, nanti Mama ambilkan! Lihat, tuh, barang-barang
pecah semua! " suara Mama tinggi.. Mungkin, ia gusar
karena tidurnya terganggu. Sudah dua hari Mama tidak
berjualan karena sakit flu.
"Hari ini ulang tahunku, Ma! "
"Iya, lalu
kenapa? " bentak Mama, sambil memunguti
beling.
Tangisku menghebat. Ia tidak ingat janjinya.
"Mama bohong! Mama bohong! " teriakku, sambil
melempar bantal dan guling ke arahnya. Tiba-tiba Mama
mendekati aku. Tanpa kuduga, ia menampar mulutku dua
kali.
"Bisa diam tidak? Subuh-subuh begini teriak-teriak
seperti orang gila!
Diam! Diam tidak? " Tangan Mama masih teracung di
udara, siap menampar lagi.. Raut wajahnya bengis. Aku
merapat ke tembok dan menangis tanpa suara. Takut,
marah, kecewa, dan sedih.
"Kenapa Mama bohong? " tanyaku, pelan.
"Bohong apa, sih? " jawab Mama, galak.
"Dulu Mama bilang, aku pasti bisa jalan kalau berumur
lima tahun. Kata Mama, aku belum bisa jalan karena aku
anak perempuan. Masih kecil, masih tiga tahun. Nanti
kalau sudah umur lima tahun, baru bisa jalan seperti
si Aming. Waktu itu Mama janji, ' kan? Sekarang
tanggal 9 September, Ma. Umur Mei Cen lima tahun.
Tapi,
kenapa Mei Cen masih jatuh kalau berjalan?" Aku
menangis lagi.

"Mama bilang begitu? " tanyanya, seakan lupa.. Seolah
tak terjadi apa-apa, Mama memutar badan dan kembali
menyapu. " Mungkin, para dewa masih belum
mengizinkannya. "
Aku bengong, tak mengerti.
"Kamu harus lebih banyak berdoa pada para dewa, Mei
Cen. Supaya dewa-dewa senang dan menyembuhkan tangan
dan kakimu. Kalau kamu rajin sembahyang dan tidak
nakal, pasti dewa akan cepat menyembuhkan, " jawaban
Mama terdengar meyakinkan.
"Betul begitu? Mama tidak bohong? "
Mama menggeleng, lalu memaksaku merebahkan diri.
"Sekarang, kamu tidur lagi. Ayo!" perintahnya.

"Kenapa kita tidak sembahyang sekarang saja, Ma? Lebih
cepat kita sembahyang, lebih cepat dewa
menyembuhkanku, ' kan? "
"Nanti siang saja. Mama masih mengantuk, " katanya.
Mama menguap lebar-lebar lalu menggulingkan badan di
sisiku.

Jarum jam berdetak mengiringi
gerakan bola mataku yang
tak bisa dipejamkan lagi. Di dalam hati aku memendam
begitu banyak pertanyaan. Kenapa dewa memberiku
penyakit ini? Kenapa orang lain tidak? Penyakit apa
ini?
Ketika jarum jam menunjukkan angka delapan pagi, aku
menarik-narik selimut Mama. " Sudah siang, Ma! Ayo,
kita sembahyang! "

Walau agak susah dibangunkan, sambil terkantuk-kantuk
Mama mau juga
membopongku ke ruang tengah. Di sana ada altar kecil
dipenuhi dupa dan
lilin merah yang setiap hari menyala. Dupa dan
lilin-lilin itu mengapit beberapa botol kecil berisi
abu leluhur keluarga. Aku mengambil tiga batang hio
dan menyalakannya, lalu membungkukkan badan
dalam-dalam, tanda hormat kepada dewa dan arwah
leluhur.

"Para dewa dan arwah leluhur, sembuhkanlah aku agar
aku bisa berjalan,"
teriakku, lantang. Sepanjang hari, di sela-sela
kegiatanku berlatih berjalan, aku berdoa
dengan suara keras, takut dewa
tidak mendengar
suaraku. Aku menaruh beberapa piring berisi apel dan
jeruk sebagai sesajen.

Lepas beberapa hari, aku mulai gelisah. Akhirnya,
kuputuskan untuk tidak meninggalkan altar barang
sekejap pun. Seisi rumah menertawakan dan
mengolok-olok. Tapi, aku tidak peduli. Aku ingin tidur
di depan altar saja supaya bisa berdoa kapan pun aku
mau. Mulanya, Mama marah, tapi belakangan dia diam
saja.

Aku sungguh-sungguh berdoa. Tak jarang aku menangis
karena begitu ingin bisa menggerakkan kakiku. Aku
tidak mengerti apa penyebab sakitku ini, tapi aku
mengharapkan kemurahan para dewa dan arwah leluhur
agar mau mengasihaniku.

Hampir setahun aku terus membungkukkan badan di depan
altar dan berteriak-teriak sampai suaraku serak. Tapi,
mimpiku belum terwujud. Aku mulai jemu. Sepertinya,
dewa tidak memperhatikan kerasnya usahaku. Mungkin,
dewa terlalu sibuk mengurusi hal penting dan tidak mau

mengurusi permohonan anak kecil.

Di umurku yang ketujuh, aku makin rendah diri
mendengar ejekan orang sekampung. Kata-kata seperti '
Itu Si Pincang! ' atau ' Hei, Ayam Buntung lewat! '
atau ' Kasihan, cantik-cantik, kok, cacat! '
memerahkan telinga dan juga menghancurkan hatiku. Mama
tidak ambil pusing dengan keluhanku. "Ah, mereka itu
nakal, suka iseng. Biarkan saja, nanti akan diam
sendiri" katanya, pendek.

Komentar Tante Lin lebih baik. " Kamu tidak pincang,
tidak buntung. Kamu bisa berjalan sedikit, ' kan?
Bilang saja, kakimu sekarang memang sakit, tapi akan
segera sembuh.. "

Tak tahan terus diganggu rasa penasaran, suatu hari
aku nekat membuka sepatu kain dan sarung yang
menyelubungi tangan dan kakiku. Dalam kamar terkunci,
susah payah aku menggunakan gigi untuk menarik tali
kecil yang membelit gulungan kain di tangan. Apa yang
kulihat sangat membuatku terpukul dan nyaris histeris.


Tangan yang sejak dulu terlihat begitu aneh, tetap
pada bentuknya. Tak ada perubahan. Tak ada pertumbuhan
tangan yang indah seperti penari, seperti yang Mama
janjikan. Masing-masing tangan harus puas hanya punya
tiga jari. Jumlah kuku pun tak lengkap.

Aku membuka ikatan yang membelit kaki sepanjang betis.
Pemandangan sangat tidak sedap pun kembali menerpaku.
Kakiku memang ada dua, tapi tidak sempurna. Bentuknya
ganjil. Kanan dan kiri tidak sama. Kakiku tidak
bertelapak dan berjari. Yang disebut telapak pada kaki
kiriku adalah
segumpal daging tanpa kuku, tak berbentuk. Kaki
kananku masih lebih baik.Telapak kaki masih sedikit
berbentuk, walau tak panjang. Tapi, hanya berjari tiga
dan berkuku dua. Sayangnya, kaki kanan yang agak
lumayan itu melesak bengkok ke arah dalam.

Aku menangis meraung-raung. Apa gunanya punya tangan,
kalau tak bias dipakai? Apa gunanya punya kaki, kalau
tak bisa
berjalan? Kini aku sadar mengapa semua orang
menghinaku. Mereka semua benar! Aku seperti ayam
buntung pincang berwajah manusia. Aku cacat! Cacat!

Seharian aku mengunci diri di kamar. Tak mau makan dan
minum. Hanya bergolek, terisak di tempat tidur. Tak
kupedulikan teriakan Mama dan Tante Lin yang menggedor
pintu seperti orang kesetanan, berteriak memanggil
namaku. Lewat pukul tujuh malam, aku merangkak lemas
menggapai pintu dan meraih kunci. Bukan karena lapar
atau haus. Aku ingin bertanya pada Mama, kenapa selama
ini ia berbohong.

Begitu aku membuka pintu, tangan Mama yang besar
langsung merenggut rambutku dan membenturkan ke
dinding berulang-ulang. Masih belum cukup, aku
dihadiahinya tamparan di pipi kiri dan kanan.

"Anak sialan! Untuk apa mengunci pintu seharian? Coba
bilang, ngapain kamu di dalam? Ngapain? " teriak
Mama.
Air mataku meleleh lagi. Tapi, aku tak bisa melawan.
Tante Lin
mencoba memapahku bangun. Kakak-kakakku
hanya menonton. Sedikit pun mereka tak tergerak untuk
mengulurkan tangan. Wajahku yang memar berpaling
memandangi mereka. Kenapa mereka tidak mencegah ketika
Mama menghajarku? Kenapa mereka tidak menghiburku,
memeluk, dan melindungiku? Aku adalah adik mereka.
Atau, mereka menganggapku makhluk aneh yang tidak
pantas jadi manusia?

Dengan mata nanar kutatap wajah Mama. Perlahan aku
menyorongkan kedua belah tanganku ke hadapannya.

"Kenapa Mama bohongi Mei Cen lagi? " desahku. Mama
dan Tante Lin langsung terkesiap, sadar bahwa tangan
dan kakiku tidak lagi terbalut ikatan kain. Rona kaget
mereka tak bisa ditutupi. Mereka menoleh ke belakang.
"Siapa yang buka? A Ling? Atau, kamu, Heng? " tanya
Mama.
Satu per satu mereka menggeleng, lalu beranjak pergi.
Mama menatap lama ke dalam mataku. Kupikir ia akan
menghajarku lagi. Tapi, ia bangkit menuju ruang dalam

dan kembali dengan sepiring nasi di tangan.
"Makanlah dulu. Kamu pasti lapar. Sesudah makan,
langsung tidur, " katanya, acuh tak acuh.
"Tangan dan kaki Mei Cen kenapa, Ma? Kenapa bentuknya
seperti ini?"
"Tidak sekarang, " Mama bergegas menjauh, diikuti
Tante Lin yang sempat mencium pipiku. Aku termangu
memandangi nasi di depanku, tanpa berniat
menyentuhnya. Kejadian hari ini terlalu pedih,
membunuh selera makanku.

Hari-hari berikutnya Mama bersikap seolah tak ada
apa-apa. Tante Lin juga berusaha menghindari
pertanyaanku, tapi tetap melayaniku. Bagaimana mungkin
Mama begini, setelah kemarin menyiksaku sampai babak
belur? Tidakkah Mama tahu bahwa peristiwa itu terekam
dalam jiwaku, menimbulkan luka emosi yang mengobarkan
kebencianku?

Suatu siang, ketika aku sedang duduk melamun di depan
rumah, seorang anak tetangga lewat dan mulai cari
gara-gara. Setelah beradu mulut yang diakhiri kontak

fisik, aku masuk ke rumah. Melihat lengan bajuku
terkoyak dan pipi merah, alis Mama terangkat. Situasi
langsung diambil alih Tante Lin.

"Kenapa? Kok, seperti habis dipukuli? " tanya Tante
Lin, bergegas memeriksa lukaku. Aku menggigit bibir,
menahan tangis.
"Memang dipukuli, " jawabku, pelan.
"Siapa yang memukuli? "
"Wanto. Ia mengatai aku ayam buntung. Aku tidak mau
dikatai seperti itu. Wanto marah, tidak terima.
Tahu-tahu, dia langsung memukul aku. "
Aku menghambur ke arah Mama. "Kenapa tangan dan kaki
Mei Cen begini, Mama?" isakku, lirih.
"Ini sudah takdir, Mei Cen. Sabarlah. Jangan dengarkan
omongan tetangga. Mereka juga akan diam sendiri. "
"Ceritakan apa yang terjadi padaku, Ma ... . "
"Sudah, jangan diingat-ingat lagi. Kita ke dokter
saja, ya? " Mama masih berusaha mengelak. Aku
menggeleng berulang-ulang. " Tidak, Mama harus
cerita. Cerita yang sebenarnya. "

Beberapa menit
kami berpandangan. Perlahan, Mama mau
juga bercerita. Sambil mengibaskan kemoceng di
sela-sela kursi, ia bertutur dengan suara yang hampir
tak terdengar.

"Dulu, sewaktu kamu masih ada di perut Mama, pagi-pagi
Mama pergi ke pasar membeli ayam. Menurut orang
Tionghoa, kalau sedang mengandung pantang memotong
ayam, apalagi kakinya. Kata orang tua zaman dulu, bayi
yang dikandung bisa cacat.. Hari itu Mama lupa pada
pantangan. Ketika kamu lahir cacat, Mama menyesal
karena melanggar pantangan itu. "

"Aku cacat cuma karena Mama memotong ayam sewaktu
hamil? " jeritku, tak percaya.
"Percaya atau tidak, itulah yang terjadi. "
"Apakah tak ada yang bisa mengobati cacatku? "
"Dokter di kota bilang, kamu harus dioperasi. Badanmu
disayat, dipotong-potong. Biayanya mahal sekali. Kita
tidak punya cukup uang untuk itu, Mei Cen. Kalaupun
bisa, rumah ini harus dijual. Lalu, kita harus tinggal
di mana? Karena
tidak punya uang dan tidak tega
melihatmu
dioperasi, Mama membungkus kaki dan tanganmu supaya
tidak ada yang tahu keadaanmu."

"Itu sebabnya aku tidak boleh main dan bersekolah
seperti anak lain? Karena Mama malu? "
"Mama takut kamu dihina. "

Dihina. Ucapan itulah yang melecut semangatku. Kupaksa
Mama mendaftarkanku ke sekolah. Miskin dan cacat
adalah dua hal yang tak bisa kuubah, tapi aku tak mau
menambah satu lagi kekuranganku: menjadi bodoh.

Tergerak oleh tekadku, Mama membeli sepasang sepatu
besi khusus untuk penyandang cacat. Jika memakainya,
kakiku terasa berat sekali. Tapi, aku harus
mencobanya. Siapa tahu, telapak kakiku perlahan-lahan
bisa normal.

Di sekolah aku makin sering menangis. Tak ada seorang
teman pun yang mau bergaul denganku. Aku sering
kesulitan menulis cepat karena jari jari tanganku tak
sebanyak orang lain. Biarpun sudah berlatih keras,
hasilnya tetap
mengecewakan. Bila tiba jam olahraga,
aku hanya gigit jari dan tinggal di kelas, sementara
teman lain berlarian bermain bola kasti.

Untunglah, keterbatasan fisik tidak memengaruhi
kemampuan berpikirku. Walau aku terlambat bersekolah,
tidak berarti aku lambat dalam menangkap pelajaran.
Perlahan tapi pasti, aku mulai menerima keadaanku.

Tidak masalah, aku yakin bisa mengatasinya. Nilai
raporku selalu jauh di atas rata-rata. Di akhir tahun
pelajaran aku tersenyum bangga karena prestasiku
melebihi orang yang tak cacat. Sayang, Mama kurang
terkesan dengan keberhasilanku itu. Ia hanya
mengangguk, tanpa memberikan pujian sedikit pun. Ah
... begitu sulitnya aku merebut hati Mama.

Menginjak remaja, kegiatanku di rumah tak banyak
berubah. Tak mungkin aku membantu Mama memotong dan
mencabuti bulu ayam. Kupilih membantu Tante Lin
membuat kue. Mula-mula, hanya mengocok telur, menuang
terigu, dan
mengaduk adonan. Lama-kelamaan aku bisa
mencetak aneka bentuk kue kering. Iseng-iseng, aku
menjualnya kepada teman-teman di sekolah. Hasilnya
kutabung sedikit demi sedikit.

Sayang, hubunganku dengan Mama tak banyak berubah.
Kami masih tidur pada satu ranjang. Tapi, rasanya ia
begitu jauh. Seperti ada tembok tebal yang menghalangi
terciptanya kasih di antara kami. Aku sering menatap
wajahnya yang terlelap di sampingku. Ingin berbicara,
selayaknya ibu dan anak. Ingin mencurahkan seluruh isi
hatiku. Tapi, entah kenapa, aku tak bisa.

Hubunganku dengan semua kakak pun kurang harmonis.
Sejak kecil aku terbiasa dijadikan kambing hitam.
Keadaan rumah berantakan, aku yang kena marah.
Dagangan Mama tidak habis terjual, aku dapat omelan.
Uang kakak hilang, aku dituding sebagai pelaknya.
Pokoknya, tiada hari tanpa daftar kesalahanku.

Di rumah kuno sebesar ini, aku merasa begitu kecil.
Begitu tak
bernilai. Terlebih setelah Oma meninggal.
Rasa kehilangan makin menerpa. Saat Oma masih hidup,
aku terbiasa menungguinya di ranjang, menyuapi, dan
membersihkan badannya. Hanya Oma satu-satunya orang
yang memerlukan kehadiranku. Sedikit banyak itu
membuatku merasa berarti. Namun, arti yang sedikit itu
pun terampas tatkala Oma tiada. Aku kembali menjadi
katak dalam tempurung, sepi terasing dalam
kesendirian.

Oktober 1986
Jarum jam mendekati angka 5. Tergesa-gesa kuoleskan
lipstik warna pink, merapikan gaun, lalu memakai
sepatu. Aku berdandan agak istimewa untuk menghadiri
ulang tahun Dewi, teman sebangku.

Ketika bercermin, aku bersyukur karena wajahku bisa
dikatakan cantik. Gaun merah muda yang kupakai sangat
cantik. Milik Mei Lan, kakak termudaku, yang terpaksa
merelakannya. Aku masih ingat sorot mata dan
komentarnya yang merendahkan, "Memangnya, temanmu yang
ulang tahun cacat juga,
sampai merasa perlu mengundang
kamu? Jangan-jangan, kamu yang memaksa minta diundang?
"

Aku hanya bisa menelan ludah. Tebakan Mei Lan kurang
lebih benar. Dewi hanya menyampaikan berita lisan
kepadaku, bukan kartu undangan. Aku tahu, itu cuma
basa-basi, karena selama ini aku membantunya
menghasilkan nilai 7 dalam setiap pelajarannya.

Tetapi, masa bodoh. Diundang atau tidak, aku tetap
pergi. Apalagi, aku sudah menyiapkan sepatu putih
dengan taburan mutiara imitasi di sekelilingnya. Aku
rela membobol tabunganku demi sepatu cantik ini.
Sepatu yang kuharapkan bisa menimbulkan kesan berbeda
bagi kedua kakiku. Untuk malam ini, selamat tinggal
sepatu besi!

Karena rumah Dewi agak jauh, kami harus berkumpul di
sekolah dan kemudian akan berangkat bersama. Aku
berjalan kaki secepat mungkin. Tak kuhiraukan gerimis
kecil yang mulai turun. sampai di sekolah tak satu
teman pun terlihat. Setengah
menangis aku melihat jam
di pergelangan tangan. Ya, ampun! Lewat 7 menit dari
waktu yang ditentukan! Mereka bilang akan menunggu
dengan batas toleransi 15 menit. Bagaimana mungkin
mereka tega berbuat begini?

Malam itu aku terseok-seok pulang. Sakit hati dan
sangat kecewa. Sambil terisak, aku memukuli kedua
kakiku. Kenapa aku tidak bisa berjalan lebih cepat?
Semua gara-gara kaki sialan ini, kaki brengsek! Kaki
cacat yang tidak berguna!

Bukan cuma karena itu aku marah. Untuk ulang tahun
Dewi, aku sengaja berdandan seteliti mungkin karena di
situ ada Wisnu, sepupu Dewi. Aku ingin terlihat
istimewa di depannya. Kaki sialan ini sudah merusak
acaraku!

Sampai di rumah, tampak Mama dan Tante Lin sedang
duduk mengobrol di meja makan, ditemani beberapa
stoples kue kenari buatanku. Melihatku basah kuyup,
Mama hanya menoleh sekilas.

"Tidak jadi pergi? "
"Ketinggalan mobil, " ujarku,
tersendat.
"Oh, " hanya itu komentarnya. Sungguh, dadaku sakit
sekali. Tak bisakah Mama bersikap lebih peduli pada
perasaanku, lebih menghargai? Sedikit saja? Agaknya,
ia lebih tertarik mengunyah kue kenari. Tak bisakah ia
bertanya dengan sikap lebih keibuan?

Kuhabiskan sepanjang malam dengan simbahan air mata.
Tangan dan kaki yang buruk rupa adalah sumber bencana
dalam hidupku. Tak pernah aku bahagia. Di rumah
diperlakukan seperti orang lain, di sekolah seperti
makhluk asing. Lengkap sudah penderitaanku!

Aku ingin merasakan kerlap-kerlip suasana pesta,
bergembira, dan bernyanyi. Aku ingin bertemu pria
pujaan. Siapa tahu, ada yang tertarik mengajakku
berdansa. Aku ingin merasakan manisnya jadi gadis
remaja. Salahkah keinginan itu?

Sejak peristiwa Sabtu malam itu, aku jadi makin
sensitif. Aku makin menarik diri dari lingkungan mana
pun. Melihat sikapku yang aneh, Mama marah. Mama

menghabiskan waktu dengan menyumpahi dan mencercaku,
kegiatan yang mungkin dirasanya lebih bermanfaat
ketimbang memeluk atau Menanyakan keadaanku.

Dalam keadaan tertekan, aku tenggelam dalam
kesibukanku sendiri. Pergi sekolah sebelum orang lain
bangun. Siang hari aku berdiam di ruang praktikum atau
di perpustakaan, membaca. Di sore hari kuhabiskan
waktu berjam-jam untuk membuat kue, disambung dengan
belajar sampai larut malam. Aku ingin melanjutkan
sekolah ke perguruan tinggi, tapi Mama punya pandangan
sendiri.

"Buat apa, Mei Cen? Tidak ada gunanya. Buang-buang
uang saja! Lebih baik uangnya ditabung, untuk biaya
usaha atau kawin. "
"Tidak banyak pekerjaan yang bisa dilakukan oleh
lulusan SMU, Ma. Paling-paling jadi pegawai toko atau
pekerja pabrik. Gajinya kecil. Kalau Mei Cen kuliah,
kesempatan kerja pasti akan lebih luas, " bantahku.
"Sok tahu kamu! Memangnya, kalau tidak kuliah tidak

bisa hidup? Semua kakakmu tidak ada yang kuliah. Tapi,
buktinya mereka bisa hidup. "
"Iya, hidup, sih, hidup. Tapi, tidak ada kemajuan sama
sekali. A Heng berdagang ayam di pasar, dari dulu
sampai sekarang. Mei Lan jadi kasir di toko Ko Bun
Liong dan Mei Ling jadi pelayan di rumah makan.
Sekarang Mama suruh Mei Cen berjualan kue sampai tua?
" suaraku meninggi.
"Kurang ajar! Berani-beraninya kamu menghina mereka?
Mereka sudah menyumbang untuk biaya kamu sekolah,
tahu! Jangan mimpi! Kuliah Cuma untuk orang kaya! Kamu
mau bayar kuliah pakai apa? Mama sudah tidak punya
uang lagi! " suara Mama tidak kalah menggelegar.

Sulit. Jika sudah bicara soal uang, aku mati kutu.
Biaya kuliah tidak murah. Aku juga harus merantau ke
kota besar. Butuh biaya perjalanan, kontrak rumah,
plus biaya hidup. Runyam. Sungguh runyam. Lebih runyam
lagi kalau aku harus membuat kue sampai bongkok. Aku
tidak boleh menyerah!
Pasti akan ada jalan keluar.
Sabar saja!

Mei 1987
Ketika ujian akhir dan ujian saringan masuk perguruan
tinggi sudah dekat, aku memaksimalkan seluruh waktu
yang tersiksa untuk berlatih soal-soal.

Di kamar bekas Oma, yang akhirnya menjadi kamar
pribadiku, aku tergeletak letih, setelah menggarap
setengah buku latihan fisika. Sudah pukul satu dini
hari. Mataku penat luar biasa. Terdorong isi kandung
kemih yang penuh karena dua cangkir kopi, aku
melangkah ke kamar kecil. Sejenak langkahku terhenti,
berganti menjadi rasa ingin tahu, ketika sayup-sayup
kudengar suara percakapan dari kamar Tante Lin.

"Kau tidak perhatikan bahwa dia makin tertutup dan
makin menjauh dari kita sejak peristiwa itu? "
"Ah ... itu karena dia terlalu cengeng. Dia harus
belajar menghadapi kerasnya hidup, harus belajar
menerima kegagalan. "
"Jangan terlalu keras padanya, Giok. Bukan salah Mei
Cen dia lahir
cacat, 'kan? Dia pasti sangat menderita
karena keadaannya. Mestinya, kau bias bersikap lebih
baik, karena dia menderita akibat kesalahanmu dulu.
Kalau saja kau tidak gegabah minum segala macam ramuan
obat dari sinse itu, pasti tidak akan begini
kejadiannya! "

"Aku tidak pernah tahu bakal begini kejadiannya! Sinse
Wang paling terkenal di daerah ini, obat-obatnya
selalu manjur. Tidak ada yang pernah menyangka anak
itu lahir cacat, Lin! Sudahlah, jangan diingat-ingat
lagi. Pedih rasanya. Setiap kali mengingatnya, aku
teringat pada pria gila itu. Aku melakukannya karena
terpaksa. Kau tahu, ' kan? Aku terpaksa, aku takut,
aku tidak punya pilihan lain. "

Cepat-cepat kubekap mulutku sendiri, sebelum
jeritannya keluar. Lututku lemas dan saling beradu,
hampir tak kuat menyangga tubuh. Astaga, jadi ini
rahasia besar yang selama ini sengaja disembunyikan
mereka berdua? Mama berniat menggugurkan kandungan.

Itu berarti, dia ingin membunuhku, melenyapkanku?
Anaknya sendiri? Bagaimana mungkin dia tega berbuat
begitu?

Sampai kokok ayam terdengar nyaring di pagi hari, aku
masih tergolek dengan mata sembap. Semalaman aku tidak
bisa memejamkan mata. Benakku dipenuhi banyak
pertanyaan, ketidakpuasan, ketidakpahaman.. Cintakah
Mama padaku? Mengapa ia bisa setega itu? Mengapa tidak
langsung dibunuhnya aku ketika lahir dulu? Bukankah ia
terbebas dari masalah? Tapi, masalah apa yang membuat
Mama bisa mengambil tindakan senekat itu? Apa
hubungannya dengan seorang pria yang disebutnya
kemarin?

Keadaan rumah kebetulan sedang sepi ketika kutemui
Mama di dapur pagi itu. Sambil mengiris sayuran,
sesekali ia mengaduk se-panci besar bubur di atas
kompor. Aku berdiri mematung, tak jauh dari tempatnya
berdiri. Ia melihat padaku sekilas, tapi Mama tetap
asyik dengan kegiatannya, tak terusik oleh
kehadiranku.


"Kenapa selama ini Mama berbohong padaku? "
"Bohong apa? "
"Mama berbohong tentang cacatku! Mama pernah bilang,
tangan dan kakiku tak berkembang karena aku anak
perempuan yang pertumbuhannya tak sepesat anak
laki-laki. Lalu, Mama berganti cerita bahwa aku cacat
karena waktu sehamil dulu Mama melanggar pantangan
memotong kaki ayam. Tapi, kenyataannya, cacat ini
terjadi karena disengaja. Betul begitu,'kan? "
"Hei, kamu ngomong apa, sih? Pagi-pagi sudah meracau!
"
"Sekarang, Mama mau mengarang cerita baru lagi?
Sudahlah, terus terang saja! Mama pernah ingin
menggugurkanku, bukan? "

Saat itulah Mama berbalik menghadapku. Kedua tangannya
berkacak pinggang, lalu menudingku lurus-lurus. "
Hei, jangan asal kalau ngomong! Siapa yang bilang
begitu? "

"Tak perlu berkelit lagi, Ma. Mei Cen sudah dengar
semua percakapan Mama dan Tante Lin tadi malam.
Sebenarnya, obat apa yang Mama makan
sampai aku lahir
begini? Obat yang sengaja Mama pesan pada Sinse Wang
supaya janin di perut Mama tidak berkembang lagi? Obat
yang sengaja Mama beli, Mama minum setiap hari, supaya
janin itu mati seketika? Tapi, sayangnya, janin itu
tidak mati, bukan? Janin itu membesar, tidak mempan
oleh obat. Janin itu tetap hidup, dengan segala
kekurangan. Mei Cen ingin tahu, bagaimana perasaan
Mama sewaktu melihat bayi cacat itu untuk pertama
kalinya? " Mukaku memerah ketika mulai mengucapkan
dakwaan.

Dengan raut wajah tegang Mama terpaku. Sesaat kupikir
dia akan menamparku, seperti kebiasaannya kalau sedang
marah. Dalam tempo singkat, Mama berhasil menguasai
kekagetannya dan berucap dengan nadanya yang khas,
datar tanpa emosi.

"Kau tidak akan bisa mengerti. "
"Apa yang tidak aku mengerti? Bahwa Mama tidak
menghendaki aku lahir? Bahwa Mama sengaja ingin
membunuhku? "
"Kamu tidak bisa mengerti! Mama
sebenarnya sayang
padamu. "
"Sayang? Coba katakan sekali lagi. Sayangkah namanya
jika menggugurkan anak sendiri? Sayangkah namanya jika
membohongiku selama ini? Sayangkah namanya jika selama
ini Mama bersikap tidak adil padaku? Aku mohon, jangan
bohong lagi. Aku cuma ingin tahu, kenapa? Apa salahku?
Apa salahku sampai Mama ingin membunuhku? " aku
memekik.

"Salahmu adalah karena kau lahir bukan di saat yang
tepat! " bentak Mama menggelegar, sambil memukul meja.
"Papamu yang gila perempuan itu pergi begitu saja
meninggalkan rumah ini, kawin lagi di kota lain. Dua
bulan kemudian, Mama baru sadar bahwa Mama hamil.
Dalam keadaan bingung, datanglah kabar bahwa papamu
meninggal karena kecelakaan. Mama makin bingung dan
panik, karena ternyata ia tidak meninggalkan warisan
apa-apa, selain rumah tua ini. Masih belum cukup,
rupanya papamu sering main judi dan utangnya bertumpuk
di mana-mana. Kalau kamu
jadi Mama, apa yang akan kamu
lakukan? Seorang janda dengan enam anak, ditambah satu
calon anak di kandungan, tanpa penghasilan sama
sekali. Mama tidak punya pilihan lain, Mei Cen. Kalau
kamu dibiarkan lahir, kamu hanya akan menderita dalam
kemiskinan. "

"Mama mengorbankanku? " Aku tercekat dengan pahit.
"Mama bingung, tidak tahu harus bagaimana lagi. Uang
tidak punya, sementara semua orang di rumah ini perlu
makan, belum lagi memikirkan soal utang. Mama tidak
sanggup menambah beban lagi dengan mengurusi bayi. "
Begitu tenangnya Mama bicara. Aku ternganga, nyaris
tak percaya. Air bening dari pelupuk mataku berjatuhan
satu-satu.

"Aaa ... apakah Mama sedih melihat keadaanku waktu
itu? "
Sejenak Mama diam, lalu katanya, " Ya, Mama sedih.
Tapi, jangan dibicarakan lagi. Lupakan saja. Yang lalu
biar saja berlalu. "

Hah, enak saja Mama bilang begitu! Apa dia tidak sadar
bahwa perbuatannya
itu mengakibatkan tangan dan kakiku
cacat? Hati dan jiwaku juga tergoncang? Apa dia lupa,
gara-gara perbuatannya itu, sepanjang hidupku aku
harus dijejali oleh segala macam hinaan dan olok-olok?

Dengan lunglai dan tertunduk, aku kembali ke kamar,
membenamkan diri sepanjang hari di sana. Tanpa perlu
diberi tahu pun, aku sudah paham bahwa pembicaraan ini
sudah usai. Jelas sekali bahwa Mama tidak mau mengakui
kesalahannya, malah memasang tameng pembelaan diri
dengan rupa-rupa alasan yang mengatasnamakan '
kemanusiaan ' . Sungguh indah!

Baru aku sadar, dari dulu seolah ada tembok penghalang
antara aku dan Mama. Ternyata, Mama menolak
kehadiranku. Bagaimana mungkin ia bisa mencintaiku
dengan sepenuh hati, bila ia tak pernah mengharapkan
kelahiranku? Ini pukulan terhebat yang pernah kualami.
Rasa kecewa karena tidak dicintai oleh teman dan
saudara kandung masih bisa kuatasi.
Tapi, tidak dicintai oleh
ibu sendiri? Tidak, aku
tidak sanggup menanggungnya!

Setelah konfrontasi yang mengejutkan itu berlalu,
hubunganku dengan Mama makin berantakan. Setiap kali
berpapasan, aku membuang muka. Makanan yang
disediakannya pun tak pernah kusentuh lagi. Sebisa
mungkin, aku menghabiskan waktu lebih banyak di
sekolah.Tapi, apa daya, konsentrasiku pecah.

Pekerjaan rutinku kini hanyalah bergelung memeluk
bantal dan menangisi nasib. Sejak kecil aku senantiasa
diolok, diperlakukan seperti makhluk aneh, dijauhi
seolah aku adalah penderita penyak it yang menyebarkan
virus mematikan. Tak punya teman, tak punya
kekasih.Aku tak perlu mengalami semua ini, kalau Mama
tidak mencoba menggugurkan kandungannya dulu. Itu
sebuah upaya pembunuhan. Itu suatu kesalahan, bukan?

Berbagai pikiran buruk berebut datang menghampiri.
Masa depan, apakah engkau masih menyisakan sedikit
tempat bagiku? Kalaupun ada, yang seperti
apa? Menjadi
penghuni panti cacat seumur hidup, sendirian dan
kesepian? Atau .... menadahkan tangan, menjadi pengemis
di pinggir jalan? Apakah kelak ada pria yang mau
menikahiku? Di manakah kesembuhan? Di manakah
keadilan? Aku tak punya keberanian untuk menggapai
impian. Aku sangat takut, benar-benar takut!

Juni 1987
Ujian akhir sekolah kulalui dengan pikiran
kacau-balau. Aku menjawab soal-soal sekenanya. Aku tak
bernafsu untuk menjadi peringkat pertama. Bisa lulus
saja sudah bagus. Aku bukan saja kehilangan cita-cita,
tapi juga semangat dan daya juang.

Mengetahui kecacatanku akibat ulah ibu kandung
sendiri, aku jadi uring-uringan. Tiada hari tanpa muka
masam dan keributan. Untuk hal-hal sepele, misalnya
tidak menyikat lantai kamar mandi atau lupa mencuci
piring kotor saja, kami bisa bertengkar hebat.
Sejujurnya, aku tak kuat lagi dan ingin angkat kaki
dari sini.

"Kenapa sekarang
sikapmu jadi berubah, Mei Cen? Dulu
kamu tidak kurang ajar begini, " tegur Tante Lin
suatu kali.
"Orang tua itu harus dihormati, bukan diajak berkelahi
Kasihan mamamu. Ia kan seharian bekerja keras "
lanjutnya lagi.
"Aku bisa menghormati orang tua. Tapi, kalau orang tua
itu pernah punya niat ingin membunuhku, maaf saja! Aku
tidak bisa, " dengusku, sambil memecahkan telur satu
per satu ke dalam adonan.
"Peristiwa itu sudah lama berlalu. Jangan
diingat-ingat terus. "
"Enak saja Tante bicara begitu! Ini masalah hak hidup
seorang anak yang dirampas ibunya sendiri, masalah
anak yang terlahir cacat karena kesalahan ibunya.
Apakah sang ibu mengakui kesalahannya? Tidak. Apakah
sang ibu menyesali perbuatannya? Tidak. Apakah sang
ibu pernah meminta maaf kepada anaknya? Juga tidak.
Lalu, kenapa Tante memaksaku menghormati orang tua
yang demikian? Hanya karena dia sudah memberiku makan
setiap hari? "Aku
nyaris membanting baskom berisi
adonan.
"Mamamu sudah meregang nyawa waktu melahirkanmu karena
umurnya yang sudah tidak muda. Dia mengalami
perdarahan hebat dan harus dibawa ke rumah sakit.
Untuk membayar biaya kelahiranmu, dia harus menjual
perhiasannya. Paling tidak, hormatilah pengorbanannya
itu!" Tante Lin mencoba menasihati.

"Oh ... jadi sekarang dia menuntut penghormatan? "
"Bukan begitu, tapi ... . "
"Ah, aku jadi ingat satu hal. Tante Lin dan Oma pasti
tahu ketika Mama berniat untuk menggugurkan kandungan,
" cetusku tiba-tib. Tante Lin menatapku lemah, tapi
tidak menjawab.
"Kenapa Tante dan Oma tidak mencegahnya? Atau, malah
justru membantu dengan senang hati? " tanyaku, sinis.
"Mei Cen, kau tahu sendiri sifat mamamu. Sekali punya
keinginan, tidak ada orang lain yang bisa melawannya.
Sifatnya keras sekali. Kami tak bias berbuat apa-apa,
" kata Tante Lin, berdalih.
"Ceritakan Tante,
seberapa keras keinginan Mama untuk
melenyapkan aku?
"Aku segera duduk di depannya. Tante Lin terperangah,
menyadari kata-katanya yang salah, lalu meralatnya.
"Jangan begitu, Tante. Ceritakan saja yang sebenarnya.
Jangan khawatir, aku tak akan mati terkejut, "
desakku lagi. "Coba ceritakan, apa lagi yang
dilakukannya? "

Tante Lin terus menggelengkan kepala. Tapi, ketika
matanya bertabrakan dengan mataku, ia akhirnya
menyerah. " Dia ... dia ... pernah
membanting-banting tubuhnya sendiri di lantai,
memukuli perutnya dengan kayu.... , " ujar Tante Lin
terbata-bata.

"Apa lagi? " bisikku, mencoba menguatkan hati.
"Ketika kandungannya berumur tiga bulan dan belum
gugur juga, dia nekat pergi ke dukun. Segala macam
alat digunakan untuk mengeluarkan tubuhmu, sampai ...
dukun itu berdiri di perut mamamu, lalu menginjak
injaknya .." kata Tante Lin.

"Sungguh mati, Mei Cen. Kami tak pernah
menyangka kau
akan terlahir cacat dan menanggung malu seumur hidup
... . "
"Apakah ... Mama menyesal ketika melihat keadaanku? "
"Ya, dia kaget setengah mati. Dia bingung harus
bagaimana. Dia sempat menawarkan kepada orang lain
untuk memeliharamu. Tapi, mereka tidak mau menerima
bayi cacat. Mamamu juga enggan merawat sendiri karena
tidak siap menerima kehadiranmu. Tapi, belakangan ia
mulai menyesal dan berniat untuk membesarkanmu. "
Dengan ujung baju Tante Lin menyeka air matanya.. Di
wajahnya terbayang gurat-gurat keletihan dan sesal.

"Jangan salahkan mamamu, Mei Cen. Kalau papamu tidak
pergi meninggalkannya, ini tidak akan terjadi. Ia
mengambil tindakan itu karena tidak bisa menerima
pengkhianatan papamu. "

Aku termangu, mengulang, dan mengulang kembali setiap
kata yang barusan kudengar. Kemudian, tanpa berkata
apa-apa lagi, aku beranjak pergi dan menyendiri di
kamar.. Membayangkan detail
kisah itu tidak saja
membuat jiwaku tersiksa, tapi aku juga merasa tak
berharga sama sekali. Kini aku tahu, kenapa Mama sulit
menerima kehadiranku sebagai anak. Penghalang utamanya
adalah kebenciannya yang begitu dalam pada Papa.
Itulah yang ditumpahkannya padaku. Kenapa aku yang
dijadikan alat pelampiasan sakit hatinya?

Aku anak tak berguna. Aku anak yang tak berharga. Tak
ada nilainya.. Tak ada artinya. Selama beberapa hari,
hanya kalimat-kalimat itu yang melekat kuat di otakku.
Tingkahku makin seperti orang linglung, tak punya
sinar kehidupan. Tiba-tiba, jalan keluar mulai
terlihat, menggoda hatiku untuk melakukannya.
Lama-kelamaan, pikiran itu makin mendekati kenyataan
ketika kemudian aku menemukan semprotan obat nyamuk di
pojok kamar.

Faktanya, Mama tak pernah menginginkan aku hidup.
Baik, aku akan membantunya sesegera mungkin mewujudkan
keinginan itu. Kalau aku sudah tak ada, kebencian
Mama
pada Papa mungkin bisa lenyap. Tanggungan hidup Mama
juga akan berkurang satu karena dia tak perlu
repot-repot lagi memikirkan biaya hidupku. Kalau aku
mati, aku juga tak perlu lagi berkubang dalam pusaran
dendam pada ibu kandungku sendiri. Aku mencintainya,
aku tak ingin membencinya ... .

Dengan tenang, aku membuka botolnya dan menuangkan
cairan berbau itu ke dalam kerongkonganku. Rasa panas
yang membakar membuatku limbung. Aku berusaha menarik
apa saja yang bisa kuraih. Beberapa benda beterbangan
jatuh. Suaranya berisik. Pandangan mataku mengabur,
lama-kelamaan kian gelap. Sebelum badanku terempas,
sempat kuingat ada tangan yang merogoh mulutku,
sementara tangan yang lain menekan tengkukku dengan
kuatnya. Berbarengan dengan itu, rasa mual yang amat
sangat mendorong seluruh isi perutku keluar. Aku
terkapar.

Beberapa saat lamanya kesadaran menghilang dari
benakku. Ketika membuka mata,
aku mendapati diriku
tengah terbaring ditutupi selimut sampai leher.
Setelah pandangan berkunang-kunang yang mengganggu itu
hilang, aku menyeret kaki dan memaksanya keluar dari
kamar. Jam kuno di dekat televisi berdentang,
menandakan sudah pukul satu dini hari.

"Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi? " gumamku
lirih, dengan tubuh lemas, bersandar di tembok dapur.
Mama tampak tak terganggu oleh pertanyaan itu.
Buktinya, ia masih meneruskan kegiatannya menjerang
air untuk menyeduh kopi.

"Kenapa aku tak dibiarkan mati saja tadi? Biar dendam
Mama terbalas. Biar hati Mama puas. Biar hidup Mama
tak lagi susah! Itu kan yang Mama inginkan selama ini?
Kematianku?" cecarku, sambil bergerak maju
menghampiri.

Tiba-tiba Mama membanting cangkir yang sedang
dipegangnya ke lantai. Cipratan kopi panas mengenai
kakiku yang telanjang.

"Ampun! Soal itu lagi! Itu lagi! Buat apa, sih,

diungkit-ungkit terus?
Tidak bisakah kita hidup tanpa saling menyalahkan? "
Tampak sekali Mama berusaha menekan amarah. Mukanya
tegang dan bibirnya gemetar.

"Pasti Mama senang sekali kalau aku mati tadi, "
ujarku, sinis.
"Jangan kurang ajar, Mei Cen! "
"Kenapa, sih, Mama harus malu mengakuinya? Setelah
usaha yang Mama dulu lakukan gagal, mestinya Mama
berterima kasih karena aku akan mewujudkan keinginan
itu. Tidak perlu repot-repot menolongku. Mama tinggal
bilang saja, mau pakai cara apa? Terjun dari gedung
tinggi, gantung diri, atau potong urat nadi? Dengan
senang hati aku akan melakukannya untuk Mama. "

Plak! Plak! Dua tamparan membungkam ocehanku. Mama
mengacungkan telunjuknya di depan hidungku.

"Stop! Jangan bicara begitu lagi! Apa, sih, yang ada
di kepalamu? Setiap hari kita bertengkar tentang hal
yang itu-itu juga! Kenapa Mama begini, kenapa Mama
begitu. Berkali-kali
dijelaskan tentang situasi yang
menjepit waktu itu, kamu masih tidak bisa mengerti
juga. Mama tidak punya pilihan lain waktu itu, Mei
Cen. Mengertilah sedikit! Pikirmu, cuma kamu yang
susah, cuma kamu yang dapat masalah? Kamu tidak
pikirkan bagaimana keadaan Mama? Seorang wanita
setengah tua, yang ditinggal mati suaminya tanpa
warisan? Sendirian bekerja untuk menghidupi seisi
rumah dengan penghasilan pas-pasan. Apakah itu beban
yang ringan? "

"Mama tidak pernah mau mengakui perbuatan itu sebagai
kesalahan. Itu masalahnya! " jeritku, sakit hati.
"Kamu mau menyalahkan Mama karena terlahir cacat?
Tidak ada manusia yang bisa menentang kehendak takdir.
Coba kalau kamu tetap tinggal di rumah, tidak ada yang
menghinamu. Kamu juga menyalahkan Mama karena tidak
mampu membiayaimu berobat. Lihat sendiri keadaan kita,
Mei Cen. Untuk makan saja kita harus berhemat, belum
lagi uang sekolahmu dan biaya yang lain.
Sekarang kamu
bicara dengan lagak orang paling pintar sedunia! Main
tuding. Ini salah, itu salah! Hei, kamu sadar tidak?
Semua yang kamu pakai dan makan itu hasil jerih payah
Mama. Tapi, kamu sama sekali tidak tahu terima kasih,
tidak tahu balas budi! Anak tidak tahu diuntung!
Benar-benar anak pembawa sial! "

Darahku langsung menggelegak, menyembur memanasi
kepala. Anak pembawa sial.
Itulah ungkapan yang paling sering aku terima selama tinggal di rumah ini.
"Mama
tidak perlu khawatir soal uang lagi! Mulai sekarang, tanggungan Mama
berkurang satu. Aku akan mengganti setiap rupiah yang Mama pakai untuk
membiayai hidupku selama ini. Setiap rupiah! Aku bersumpah, tidak akan
pernah menginjak rumah ini lagi. Aku tidak akan pernah mengganggu hidup
keluarga ini lagi karena aku tidak pernah diharapkan ada di sini!
Akan kubuktikan, aku bisa hidup tanpa kalian!" jeritku membabi-buta, menerjang
kamar dan langsung mengambil tas di atas lemari.
"Silakan!
Silakan kalau kamu mau pergi! Hei, sekali kamu minggat dari rumah ini,
selamanya pintu ini tertutup buatmu! Kamu dengar itu? Dasar anak
sinting! Sejak di kandungan saja sudah bikin pusing.. Sudah besar malah
tambah bikin masalah! Anak kurang ajar! Anak durhaka kamu! Makin cepat
kamu keluar dari rumah ini, makin baik!" teriak Mama, tak kalah seram,
kali ini dengan melempar beberapa piring ke arah pintu kamarku.
Sambil
terisak-isak, aku memasukkan beberapa buku pelajaran, ijazah dan
surat-surat penting, tiga helai baju yang kubeli dengan uangku sendiri,
dan selimut tua milik Oma. Aku harus keluar dari rumah ini. Harus! Tak
ada lagi yang bisa menahanku lebih lama di sini.
Aku cuma seorang
manusia cacat tak berguna. Benalu yang membebani. Kenapa Yang Kuasa
tidak mencabut nyawaku saja? Tak ada arti lagi hidupku kini.
Selama
beberapa saat, aku kembali menimbang-nimbang keputusanku untuk pergi.
Masalahnya, aku tidak punya tujuan. Kenalan tak ada, saudara tak punya.
Dengan menimang uang dua ratus ribu rupiah di tangan, aku membulatkan
tekad untuk keluar dari rumah ini.
Menjelang
matahari terbit, dengan lunglai aku menyampirkan tas di bahu dan
beranjak membuka pintu depan. Derit suaranya yang khas membuatku
terkesima. Mungkin, ini saat terakhir aku bersentuhan dengan pintu kayu
yang besar ini. Tanpa sadar kuusap cat cokelatnya yang sudah
terkelupas. Perlahan aku berjalan menjauhi rumah, tempat aku
dibesarkan, meninggalkannya setapak demi setapak. Kedua tanganku
menggenggam erat secarik kertas bertuliskan sebuah alamat.

Yogyakarta
Juni 1987 - 1993
Mulutnya
menganga. Kacamatanya diturunkan, lalu dilepas. Ia menatap, menyelidik.
Beberapa detik kemudian, ia membuka gerendel pintu.

"Mei Cen?"
tanyanya, tak percaya. Aku mengangguk kuat-kuat sambil menggigil
kedinginan.. Hujan lebat membuat pakaianku melekat di sekujur kulit.
Perutku terus berbunyi, lantaran belum diisi sejak kemarin.
"Pasti ada sesuatu yang
sangat serius sehingga kamu menemui Ibu di sini," katanya, heran dan
curiga. Ia menggiringku masuk ke rumahnya yang kecil dan menyuruhku
membersihkan diri. Ibu Minarni berusaha menahan diri untuk tidak
bertanya macam-macam. Ia adalah guru SMA-ku yang paling kusayangi,
karena selalu memberiku semangat. Sayangnya, ia harus pindah tugas ke
Yogyakarta.
Setelah mandi dan menyantap sepiring nasi goreng teri,
aku duduk di depan Ibu Minarni yang menunggu ceritaku. Dengan getir aku
mengulang kisah hidupku, sejak lahir hingga detik-detik terakhir
pertengkaranku dengan Mama. Kedua mata Ibu Minarni tampak berkaca-kaca.

"Saya tidak punya siapa-siapa lagi, Bu. Izinkan saya tinggal di
sini sampai mendapat pekerjaan. Saya janji, tidak akan membuat Ibu
susah. Saya akan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Menyapu,
mengepel, cuci baju, semuanya, apa saja, asalkan diizinkan menumpang di
sini, Bu. Tidur di lantai WC pun tak apa-apa. Ibu tak perlu memberi
saya makan. Ibu boleh memperlakukan saya sebagai pembantu," tuturku.
Setelah beberapa
menit berlalu tanpa ada reaksi apa-apa, aku mendongak.
Ibu
Minarni berdehem, lalu menggenggam tanganku. "Ibu tahu perasaanmu, Mei
Cen. Tapi, melarikan diri bukan jalan keluar yang baik. Keluargamu
pasti sangat khawatir. Apalagi, mamamu.."
"Mereka tidak akan pernah merasa kehilangan. Mama tidak melarangku, bahkan mengusirku."
"Itu karena beliau sedang emosi. Orang marah selalu melontarkan kata-kata yang bukan maksudnya."
Aku bangkit dan meraih tasku. Dari kata-kata Ibu Minarni, aku tahu apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan.
"Saya mengerti jika Ibu keberatan dengan permintaanku, " kataku.
"Kamu mau ke mana?" Ibu Minarni ikut berdiri.
"Pergi.."
"Lho? Bukankah kamu ingin menemui Ibu?"
"Ibu tidak bisa menerima saya tinggal di sini, 'kan? Ibu tidak percaya cerita saya, 'kan?" sergahku, sengit.
"Jangan
buruk sangka, Mei Cen. Ibu hanya merasa tidak enak dengan keluargamu,
jangan-jangan mereka menganggap Ibu yang memengaruhimu agar pergi dari
rumah. Seburuk apa pun perlakuan mamamu, ia tetap orang tuamu."
"Percayalah,
Bu. Mama tidak akan pernah merasa kehilangan.. Ia tidak mungkin mencari,
apalagi lapor kepada polisi. Baginya, kehilangan seekor ayam lebih
menyedihkan daripada kehilangan anak cacat seperti saya."
"Hus,
jangan bicara begitu! Tuhan menciptakan manusia dengan segala kebaikan,
menurut rupa dan teladan-Nya. Dia tidak pernah menciptakan sesuatu yang
tidak berguna. Baik, kau boleh tinggal di sini.. Ibu akan menganggapmu
sebagai anak. Ingat itu! Tapi, asal kamu
tahu, Ibu bukan orang kaya. Artinya, kamu harus menerima ikan asin dan tempe sebagai makanan sehari-hari. Setuju?"
"Ibu, terima kasih banyak! Saya berjanji tidak akan menyusahkan Ibu. Tidak akan pernah!" tekadku.
"Satu lagi, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, Ibu akan tetap memberi
tahu keluargamu," katanya, tegas.
Sejak
itu setiap hari aku bangun pukul 4 pagi dan mulai mengerjakan pekerjaan
rumah tangga. Ketika Ibu Minarni bangun, rumah sudah rapi dan sarapan
sudah terhidang. Saat ia mengajar, aku membuat kue, lalu menjajakannya
ke beberapa warung dan toko.. Dari 30 tempat yang kudatangi, hanya satu
yang bersedia menampung kue-kue buatanku.
Dalam beberapa bulan,
aku berhasil menjaring dua toko lagi. Uangnya aku gunakan untuk
membayar rekening listrik, air, dan telepon. Hingga tepat setahun
kemudian, Ibu Minarni mengajakku berbicara dengan raut muka serius.
Aduh, inilah saat yang paling kutakuti!
Ibu Minarni pasti mengusirku! Mungkin, ia akan mengontrakkan rumah ini kepada orang lain atau mungkin membuka kos-kosan.
"Mei
Cen, Ibu lihat kepercayaan dirimu sudah pulih kembali. Itu bagus. Tapi,
Ibu ingin agar kamu bisa lebih mandiri. Itu sebabnya, Ibu ingin.," Ibu
Minarni sengaja memperlambat nada bicaranya. Nah, benar kan dugaanku?
"Bu, saya berterima kasih untuk semua kebaikan Ibu. Saya minta
maaf karena banyak merepotkan Ibu. Kalau saya harus pergi, saya
ingin.," kataku terbata-bata, menahan isak.
"Kamu ngomong apa, sih? Ibu ingin kamu kuliah.."
"Kuliah? Di sini? Tapi.."
"Ibu
ingin membiayaimu. Kau bagian dari hidup Ibu. Sayang jika masa depanmu
lewat begitu saja. Otakmu cemerlang. Izinkan Ibu membantumu," tutur Ibu
Minarni, lembut. Aku terperangah, antara terkejut dan senang.
"Jangan
pikirkan soal balas budi. Tugasmu cuma satu, belajar sungguh-sungguh
supaya bisa lulus dengan nilai baik. Supaya kamu bisa datang menemui
mamamu dan mempersembahkan ijazah di pangkuannya, sebagai sebuah
kebanggaan," katanya, sambil mengusap rambutku.
Kuliah? Aku tidak
sedang bermimpi bertemu malaikat kebajikan, 'kan? Sesaat aku ragu, tapi
senyuman Ibu Minarni menggambarkan ketulusannya.
Tahun pertama
kuliah terasa sangat menegangkan. Perasaan minder yang hebat kembali
timbul dan membuatku sulit beradaptasi dengan dunia kampus. Ke mana
saja aku melangkah, rasanya setiap mata mengikuti. Hanya segelintir
teman yang benar-benar bisa menerima keadaanku.

Aku
sangat menyadari, betapa beruntungnya aku bisa bertemu sosok penolong
seperti Ibu Minarni. Dia begitu rajin memperkenalkanku dengan Tuhan,
yang tidak pernah kukenal selama ini. Dia selalu siap mendengar keluh
kesahku dan giat menyemangatiku. Akan kubuktikan
pada Mama bahwa aku bukan orang cacat yang bisa dianggap remeh.
Di
tahun terakhir kuliah, saat aku tak lagi terlalu banyak dikejar-kejar
berbagai tugas, Ibu Minarni menyuruhku mengikuti bermacam kursus. Mulai
dari komputer, bahasa Inggris, sampai kursus keterampilan. Bersama dua
teman yang punya minat sama, kami belajar
membuat lilin hias dalam bentuk dan warna menarik, lalu menjualnya saat bazar kampus. Di luar dugaan, semuanya laris terjual.
Tepat lima tahun kemudian, aku berjalan bangga di antara ratusan orang yang diwisuda.

Terpincang-pincang aku menerima ijazah dan ucapan selamat dari para dosen.
"Ibu bangga padamu, Mei Cen! Hebat, kamu hebat!" Ibu Minarni memelukku erat-erat, sambil tersenyum puas.
"Terima
kasih banyak, Bu. Entah dengan cara apa kebaikan Ibu bisa saya balas,"
kataku, penuh haru. Ibu Minarni mengibaskan tangan, lalu mendadak ia
seperti teringat sesuatu.
"Kamu harus segera memberi tahu
keluargamu di Siantan. Harus! Tidak boleh tidak!" tegas Ibu Minarni.
Aku seperti terkena tembakan tepat di jantung. "Ah, tidak, Bu! Nanti
saja! Saya belum siap bertemu mereka."
"Kau tidak akan pernah siap
selama hatimu terus dipelihara oleh dendam dan kebencian, Mei Cen.
Belajarlah untuk bisa memaafkan mamamu. Cuma itu satu-satunya jalan."
Aku
memaksakan sebentuk senyum kaku. Ah. sayang, Ibu berhati malaikat ini
bukan orang tua kandungku. Seandainya Mama bisa sehangat dan penuh
kasih seperti dia. Seandainya saja aku punya kebebasan untuk memilih
siapa yang melahirkanku ke dunia.
"Tidak, Bu. Saya tak ingin kembali ke sana!" tegasku.
Kali ini dengan nada dingin yang tak bisa kututup-tutupi. Tak sadar,
rahangku mengeras karena desakan kemarahan yang tiba-tiba muncul ke
permukaan. Memaafkan Mama? Mungkin, itu satu-satunya hal yang akan
kulakukan jika langit runtuh.
Jakarta

September 2003
Tampaknya,
penduduk kota ini selalu kesetanan setiap hari Senin. Buktinya, pukul
tujuh pagi, jalan-jalan sudah dipadati kendaraan. Ditambah genangan air
di sana-sini, sisa hujan semalam. Jika tidak telanjur janji dengan Pak
Bramanto untuk menyelesaikan proposal
proyek, aku tidak rela harus terjebak macet seperti ini.
Sudah
hampir dua tahun aku berkantor di Jakarta. Pertemuanku dengan Otto
Schmidt, orang Jerman yang tertarik pada pernak-pernik buatanku,
membuka sedikit pintu kesuksesan untukku. Awalnya, ia mengunjungi stan
kami di acara pameran kecil di Yogya. Perbincangan
kami lalu
berlanjut ke tahap penjajakan kerja sama dalam bidang art & craft.
Ia menyediakan sebagian besar modal dan bertanggung jawab atas
pemasaran. Aku dan dua temanku menangani manajemen dan produksi. Malah,
kami juga mengembangkan sayap ke bidang
dekorasi rumah dan gedung.

Sampai
di kantor, Mona sudah menghadangku.. Tangannya menggenggam buku agenda
dan beberapa surat. "Maaf, Bu, Pak Bramanto menelepon. Ia minta rapat
ditunda hingga pukul dua siang nanti. Tadi malam istrinya baru
melahirkan," katanya, cepat.
"Oh, ya?" ujarku, mengembuskan napas kesal.
"Baru saja Ibu Minarni menelepon. Katanya, sulit sekali menghubungi Ibu."
"Ya, ponsel memang aku matikan. Ada lagi?"
"Pukul
sebelas nanti akan ada tamu dari Departemen Perindustrian. Pukul empat
sore Ibu diundang ke peresmian mal baru," jelas Mona. Setelah
menyerahkan beberapa berkas laporan, dia undur diri. Aku menyampirkan
blazer hijau lumut pada sandaran kursi putar, lalu menekan beberapa
angka di mesin telepon.
"Ibu, ada apa?"

"Mei Cen, selamat
ulang tahun, Nak! Semoga Tuhan memberkatimu dengan rahmat dan
kebijakan," sapa Ibu Minarni di ujung sana. "Hadiahnya ada di mejamu."
Sehelai amplop putih berlogo sebuah maskapai penerbangan menarik perhatianku. Isinya, selembar tiket pesawat.
"Pontianak?"
"Kau
tidak ingin menengok keadaan Mama? Kau tidak ingin menjemputnya supaya
bisa melihat kehidupanmu sekarang?" Astaga, lagi-lagi topik yang sangat
tidak kusukai itu muncul.
"Tidak sekarang, Bu," jawabku pendek, sambil menaruh amplop itu di dalam laci dan menguncinya.
"Kenapa
kau senang mengulur waktu, Mei Cen? Tidak baik memelihara dendam. Kamu
sudah dewasa, sudah tahu yang benar dan yang salah. Jangan berkubang di
dalam masa lalumu yang pahit sampai mati. Seberapa besar, sih, kerugian
yang akan kau dapatkan kalau memberi maaf pada ibu kandungmu sendiri?"
Suara Ibu Minarni meninggi.
"Bu, kita tidak perlu bertengkar gara-gara ini, 'kan? Saya baru saja terjebak macet selama
tiga jam dan belum sempat memeriksa laporan kerja karyawan. Masa, sih, Ibu belum bosan juga membahas masalah ini?"
"Kau masih menyalahkan mamamu karena berpisah dari Erwan?"
"Tidak
ada sangkut pautnya. Ada atau tidak ada Erwan, jawabanku tetap sama.
Aku tidak akan pulang menemui mereka. Tidak sekarang. Tidak juga nanti.
Titik."
"Mei Cen, sadarlah, kau sedang membangun rumah di atas
pasir," keluh Ibu Minarni. Kau sedang mengerjakan hal yang sia-sia.
Berdiri di tempat pijakan yang sama sekali tidak kokoh, malah makin
menenggelamkan kakimu. Jangan beri tempat untuk amarah. Ingat itu
baik-baik!"
Ibu Minarni memutuskan hubungan. Aku termangu, mencerna setiap ucapannya.
Erwan.
Kenapa nama itu harus terdengar lagi? Pria yang katanya mencintaiku apa
adanya itu lebih memilih ibunya daripada bersanding denganku.
Otto
Schmidt memperkenalkan Erwan Namiel padaku sebagai pengusaha properti
yang masih lajang di usia 38. Setahun lamanya kami berteman, hingga
suatu malam ia mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Tentu saja, aku
bersedia, karena ia bersumpah akan benar-benar
menerima semua kekurangan yang aku miliki.
"Tidak malu punya istri cacat?" tanyaku, sungguh-sungguh.
"Ah,
yang penting kan kecantikan hati!" tegasnya. Ia bilang, kekuatan cinta
kami akan sanggup mengalahkan semua perbedaan yang ada.
Saat Tahun
Baru, Erwan mengajakku makan malam di rumahnya. Ketika melihat
pandangan mata ibunya yang terkaget-kaget, aku tahu akan menghadapi
masalah serius. Suasana makan malam jadi berantakan. Nyonya rumah
bergegas pamit ke kamar dengan alasan kurang enak badan.
"Kau tidak pernah menceritakan keadaanku pada orang tuamu?" tanyaku, sambil melempar serbet.
"Sudah,
tapi tidak detail," jawab Erwan, salah tingkah. "Tenanglah, aku, toh,
sudah memilihmu. Aku akan membicarakannya dengan Mama," janji Erwan.
Aku tidak menemukan kejujuran di matanya.
Esok harinya, ketika ia menjumpaiku dengan wajah kusut masai, aku
tahu bahwa hubungan kami tinggal tumpukan abu. "Maafkan aku." Cuma itu.
Untuk
kesekian kalinya, aku dinobatkan sebagai pihak yang kalah. Pihak yang
tidak berhak menerima sebongkah cinta. Satu-satunya orang yang patut
disalahkan adalah Mama. Kenapa dia sampai hati merenggut kebahagiaanku?
Kenapa dia begitu kejam merampas hakku untuk hidup seperti perempuan
normal lainnya? Makin aku memikirkan jawabannya, aku jadi makin gila.
Dan, makin membenci Mama.

Suara Mona di saluran interkom mengejutkanku. "Maaf, Bu, ada seorang ibu mau bertemu dengan Ibu. Namanya Lin."
"Bilang saja, aku sedang meeting dan tak bisa diganggu."
Kejutan.
Dari mana Tante Lin tahu alamatku? Pasti dari Ibu Minarni. Hmm, mau apa
dia datang ke sini menemuiku? Sendiri atau bersama. ah, masa bodoh! Aku
sudah bersumpah, tak akan pernah mau berurusan dengan mereka lagi. Aku
tak mau menemuinya!
Sore harinya, ketika aku sedang bersiap-siap menghadiri peresmian gerai baru kami di sebuah mal,
Mona menyampaikan, wanita yang tadi mencariku masih setia menunggu di ruang tamu.
"Bilang saja, aku sudah pulang, Mona!"
"Dia bilang akan menunggu Ibu. Bila perlu dia akan menginap di sini."
"Ya, terserah! Panggil satpam kalau dia macam-macam! " bentakku jengkel. Apa, sih, maunya Tante Lin?
Selama
tiga hari berturut-turut, Mona melaporkan, wanita itu tetap tidak
beranjak dari kursinya. Ia tetap ingin bertemu denganku. Penting
sekali, katanya. Di hari keempat, aku terpaksa mengalah, membuka pintu
ruang kerjaku dan mengundangnya masuk. Tante Lin berjalan pelan, sambil
mengedarkan pandangan. Kami duduk berhadapan seperti orang asing,
saling
menunggu lawan bicaranya buka mulut terlebih dulu. Akhirnya, aku tak bisa menahan diri lebih lama.
"Ada apa, Tante? Uang yang aku kirim kurang? Kurang berapa?"
Tante
Lin menatapku gusar. "Bukan masalah uang. Tapi, masalah kesombonganmu!
Kamu sengaja tidak mau menemui Tante, sengaja membiarkan Tante menunggu
berhari-hari.
Kamu benar-benar keterlaluan! "
"Salah siapa?
Aku tidak pernah mengundang Tante Lin. Jadi, kalau aku tidak mau
menemui tamu yang tidak aku kehendaki, wajar, 'kan?" cetusku, sambil
menyipitkan mata.
"Sombong! Kamu memang sudah berhasil jadi orang
kaya, Mei Cen. Tapi, jangan kurang ajar pada keluarga sendiri. Jangan
lupa diri. Jangan mentang-mentang. ."
"Kirana. Namaku sekarang
Kirana," ujarku, meralat. "Sudahlah, Tante, kurang berapa?" potongku
jemu, lalu menarik laci meja di sebelah kananku. Aku mengeluarkan
segepok uang, lalu menaruhnya di meja. "Ini, lima juta."
"Kamu
betul-betul keterlaluan! " Tante Lin mengacungkan telunjuknya di depan
hidungku. "Tante datang cuma untuk menyampaikan kabar bahwa mamamu
sedang sakit. Stroke menghantam tangan dan kakinya sampai lumpuh. Dia
sangat mengharapkanmu pulang."
"Untuk apa? Aku, toh, bukan anaknya!"
"Jangan diingat lagi pertengkaran yang dulu, Mei Cen. Sudah kewajibanmu sebagai anak untuk
merawat orang tuanya. Pulanglah, walau hanya sebentar."
Aku menggeleng kuat-kuat, mengusir sakit hati yang merayap.
"Aku
sudah cukup melakukan kewajibanku. Setiap bulan aku mengirimkan uang
sebagai pengganti semua biaya yang sudah dia keluarkan untukku. Itu kan
yang dia minta? Nah, aku sudah melunasinya. Berarti, aku tidak punya
urusan apa-apa lagi. Silakan ambil uang itu,
Tante! Aku masih banyak pekerjaan," ucapku, sambil melangkah ke arah pintu.
"Kami
tidak butuh uangmu, Ibu Kirana yang terhormat! Kau pikir, dengan
mengganti nama dan identitas, kamu bisa melupakan asal-usulmu begitu
saja? Kau ingin melenyapkan masa lalu? Tidak mau berhubungan dengan
kami lagi? Sungguh besar dendammu pada kami!"
Bagai disiram bensin
berliter-liter, amarahku tersulut. "Ya, aku memang dendam! Dendam
seorang anak yang hidupnya terlunta-lunta oleh ibu sendiri. Lihat
tanganku! Lihat kakiku! Siapa penyebab ini semua? Apakah Mama pernah
mengakui kesalahannya, satu kali saja? Apakah pernah dia minta maaf
padaku atas percobaan pembunuhan yang pernah dia lakukan dulu? Apakah
dia peduli pada masa depanku dan kebahagiaanku yang terampas?"
teriakku, kalap. Tante Lin terenyak mundur.

Sambil
berlinang air mata, aku meratap lirih, "Siapa yang pernah peduli pada
perasaanku? Selalu dianggap tak ada. Bahkan, kalian sepakat mengecapku
sebagai anak pembawa sial yang harus diusir keluar dari rumah. Tante
tahu, bagaimana perasaanku selama belasan thn?
Sakit sekali.
Padahal, aku hanya minta satu hal. Aku hanya ingin Mama menyampaikan
penyesalan. Cuma itu! Terlalu kurang ajarkah permintaan itu?"
"Mamamu menyesali kejadian itu, Mei Cen. Dia ingin.."
"Maaf,
banyak pekerjaan yang menunggu." Cepat-cepat aku mengeringkan mata,
lalu membuka pintu lebar-lebar. Sesaat Tante Lin ternganga, kaget
melihat sikapku. Perlahan ia meraih tasnya, mengambil sebuah bungkusan
tipis dan menyerahkannya padaku.
"Hadiah ulang tahun dari Mama."
Aku
menatap bungkusan itu dengan sinis. "Tumben, dia ingat ulang tahunku.
Bilang padanya, terima kasih untuk kadonya yang sangat berharga. Tapi
sayang, aku tak mau menerimanya. "
"Mei Cen!"
"Maaf, Tante. Selamat siang!"
Tante
Lin memandangku dengan marah. Setelah puas beradu mata, ia berbalik
pergi. Saat bayangannya menghilang, aku tertunduk lesu. Rasanya,
sukmaku mati rasa.
Kenapa setiap kali aku ingin melupakan
semuanya, selalu ada yang kembali mengungkit luka itu? Tak bisakah aku
kini membangun kembali puing-puing keruntuhan hidup, tanpa harus
direcoki percikan-percikan api masa silam?

Siantan, Pontianak
21 Juli 2004
Derit
kereta dorong mengusik telingaku. Tiga perawat lewat di depanku
mendorong seorang kakek yang terbaring di ranjang beroda. Aku
mengerjapkan mata, menyusun kembali ingatanku. Rupanya, aku ketiduran
di kursi. Semalaman aku bolak-balik mengintip keadaan
Mama dari depan pintu kamarnya. Aku tak punya keberanian untuk menemuinya.

Ketika
mengintip keadaan Mama kemarin, aku sedikit menyesal karena tidak
langsung menanggapi telepon dari Tante Lin, yang sudah menghubungiku
selama sebulan terakhir. Ketika kemarin ia meneleponku lagi, aku tahu,
mungkin tak banyak lagi waktu tersisa.
Aku beranjak menuju ruang
perawat.. Informasi yang kudapat sungguh mengejutkan. Keluarga sudah
membawa Mama pulang satu jam yang lalu.
"Memangnya, sudah sembuh?" tanyaku, penasaran.
"Keluarganya ingin merawat di rumah saja," kata seorang perawat.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Dokter bilang sudah tidak ada harapan. Tinggal menunggu waktu saja," ucap perawat itu.
Jawaban itu membuatku tersentak. Tak ada harapan. Menunggu waktu. Maut sudah di ambang pintu. Mati.
Akhirnya,
langkah kaki membawaku kembali ke pintu kayu yang sudah kusam dan
terkelupas itu. Mataku berkaca-kaca. Inilah rumah yang pernah
kutinggali dulu, saksi bisu riwayatku. Aku mendorong pintu perlahan.
Sepi, tak ada siapa-siapa. Aku melambatkan langkah, menyusuri jejak
masa kecilku. Beberapa pojok ruangan tampak kotor dan tak terawat.
Rupanya,
seluruh anggota keluarga sedang berkumpul. Mata mereka terbelalak
ketika melihatku. Tanpa berkata apa-apa, aku mendekat ke pembaringan.
Bau kotoran manusia menyergap penciumanku, berbarengan dengan bau apak.
Entah siapa yang mengomando, satu per satu mereka keluar.
Dengan
pedih aku meneliti sekujur tubuhnya.Dari balik selimut tipis, aku
melihat tonjolan tulangnya. Mukanya tirus. Kedua matanya terpejam.
Tangannya terlipat di dada. Lima belas menit aku hanya memandangi wajah
Mama.
Sambil mengumpulkan keberanian, aku mendekat ke telinganya
dan berbisik menyapanya. Sungguh, saat ini tak tersisa benci dan dendam
dalam diriku. Aku sudah melupakannya. Aku hanya ingin berkata-kata
dengan Mama, menghiburnya, menjaganya.
"Mama, bisa dengar suaraku?
Aku ingin minta maaf. Semestinya, aku bisa datang lebih cepat. Aku
takut kita akan bertengkar lagi jika bertemu. Aku takut Mama akan
mengusirku lagi." Kuusap tangan Mama yang keriput.
Kubelai
wajahnya. Kusisir rambutnya dengan jari-jari tangan. Hal yang tidak
mungkin aku lakukan dulu. Bermanja-manja dan berpelukan dengan Mama
hanyalah angan-angan. Sekarang, aku bisa bebas menyentuhnya. Tapi,
ironisnya, dia tak sadarkan diri.
"Mama, banyak hal yang ingin
kuceritakan. Mama tahu, aku tidak lagi menjual kue seperti dulu. Aku
sudah tamat kuliah. Aku ingin minta maaf untuk semua kesalahan yang
pernah kulakukan. Aku sering membuat Mama marah.." Aku terus berupaya
membangunkan Mama.
Beberapa jam berlalu. Aku terus berceloteh tanpa henti. Tiba-tiba sepasang tangan menyentuh bahuku.
"Dia
sudah meninggal tadi pagi.," bisik Tante Lin. Bisikan itu sangat
lembut, tapi efeknya sangat luar biasa. Sesaat aku termangu. Rasanya,
sekujur tubuhku kosong. Hampa dan sunyi.
Baru kusadari, kepergian
Mama membawa pergi sebelah hatiku. Belum sempat kami merekatkan
kepingan-kepingan yang terko-yak, Tuhan memanggilnya. Aku menguatkan
hati, mencoba tidak menangis. Tapi, butiran air mata jatuh juga di
pangkuanku.
"Dia
pergi sambil membawa penyesalan," ujar Tante Lin, serak. "Penyesalan
karena kau tidak pernah tahu bahwa ia sudah menyadari kesalahannya,
karena kau menolak hadiah darinya."
"Hadiah? Hadiah apa?" aku memalingkan wajah pada Tante Lin.
"Aku
membawanya waktu datang ke kantormu tiga tahun lalu. Kau sama sekali
tidak mau menerimanya, bukan?" ujar Tante Lin, sarat dengan kecewa. Aku
menggeleng lemah.
"Tiga tahun lalu, tangan kanan mamamu sudah
lumpuh. Bicara tidak jelas. Ia minta disediakan kertas dan tinta.
Dengan memaksakan diri, ia menuliskan kata itu dengan tangan kirinya.
Ia berpesan, surat ini harus sampai di tanganmu. Harus. Surat ini
hadiah ulang tahunmu. Ia ingin kau tahu, sebenarnya ia menyayangimu. "
Tante Lin lalu berjalan ke arah lemari, mengambil sesuatu, lalu mengangsurkan sebuah bungkusan.
Tak
sabar aku menyobek sampul dan menemukan lipatan kertas di dalamnya.
Tangisku tak terbendung. Pertahanan diriku bobol sudah. Alangkah
egoisnya aku! Alangkah jahatnya! Mama, bisakah kau mendengar suaraku?
Aku mohon, beri aku kesempatan sekali lagi.
Aku mohon! Tuhan, berikan keajaiban, sekali ini saja!
Sambil
terus meraung memanggil nama Mama, kuciumi kertas dalam genggaman
tanganku. Tulisan yang tertera di kertas itu tampak dibuat dengan susah
payah. Bentuknya acak-acakan. Sulit terbaca. Kertas putih buram itu
hanya bertuliskan satu kata: M A A F