16 December 2009

Menjadi Kaya
(The Black Swan on Being Rich)

Ini sebuah ilustrasi: ada seseorang yang merasa dirinya kaya. Dia senang menceritakan hal-hal yang akan mensinyalkan kemapanannya, misalnya: HDTV flat berapa
inci, Blackberry terbaru, piano, main golf, tinggal di apartemen di pusat kota, dan punya karyawan, misalnya. Banyak juga orang yang tidak memiliki semua itu tapi sudah merasa kaya. Artinya merasa kaya tidak ada hubungannya dengan berapa banyak kekayaan (materi) yang aktual.

Itulah sebabnya merasa kaya itu relatif, artinya related/berhubungan dengan siapa perbandingannya. Namun menjadi kaya itu absolut. Kaya yang saya maksudkan di sini bukan kaya batin atau omong kosong lainnya itu. Kita membicarakan bergunung-gunung uang. Kekayaan materi yang kotor itu, yang dalam bahasa Inggris disebut filthy rich.

Ini contohnya. Kembali ke ilustrasi tadi, suatu hari, si orang yang merasa kaya tadi datang mengunjungi rumah temannya di sebuah perumahan elit di kawasan Jakarta Utara. Perumahan itu sendiri sudah cukup menjadi simbol kekayaan, dibangun dengan reklamasi pantai yang luar biasa spektakuler, menggunakan dam-dam dengan teknologi Belanda bahkan arsitek-arsitek yang turut membangun kota Dubai.

Setelah masuk ke rumah sang teman, si tokoh ilustrasi kita, sebut saja namanya Amin, tambah tercengang. Dia pikir rumah seperti yang dilukiskan dalam komik dan film Richie Rich hanya khayalan, tetapi sekarang dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Beberapa yacht terparkir di depan rumah. Garasi yang lebar dengan jejeran paling sedikit 6 mobil mewah. Ruangan-ruangan yang besar dan tinggi di dalam rumah, dengan perabotan yang serba lux. Mereka mempunyai bar sendiri, semacam toko minuman sendiri, snack dan minuman ringan berlimpah, bagaikan sebuah surga buat anak kecil. Home theater yang sama kualitasnya dengan Blitz Megaplex serta ruang karaoke kedap suara dengan koleksi lagu yang melebihi nav-nav.

Tidak hanya itu, ketika berbicara soal liburan, Paris terasa sudah standar. Maldives yang bagi banyak orang hanya impian, bagi sang teman sudah seperti bolak-balik ke toilet, alias sudah biasa. Tentu saja semua ini membuat teman kita si Amin langsung merasa tidak berarti.

Yang paling menyakitkan bagi Amin adalah ketika mengetahui sang teman bisa bersantai. Tidak seperti Amin yang sibuk terus. Senin sampai Jumat kesibukannya dari pagi hingga malam. Dari meeting ke meeting. Tidak jarang dia menjadi pembicara seminar, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di beberapa kota lain. Pulang selalu sudah malam. Blackberry selalu kehabisan baterei karena digunakan nonstop dari pagi hingga malam untuk selalu menjadi terdepan, tidak pernah ketinggalan informasi. Pada akhir pekan pun sering kali dia masih harus membuat materi presentasi, proposal, dan lain-lain.

Pertanyaan selanjutnya yang ada di benak si Amin, dan juga benak kita semua, the one million dollar question, adalah, bagaimana dia melakukannya? Bagaimana dia bisa menjadi sekaya itu?

Orang-orang pun mulai merasionalisasi, mencoba membuat penjelasan. Dia bisa kaya karena ini, karena itu, teori A dan B dan C, banyak sekali teori yang menjelaskan kunci sukses. Tidak, di sini saya tidak membicarkaan kesuksesan (karena sukses pun relatif) dan saya juga tidak membicarakan minat orang per orang yang berbeda dalam karir. Saya membicarakan kekayaan materi. Bergunung-gunung uang.

Saya sering mendengar komentar "yah dia kan memang dari dulu sudah kaya" apabila membicarakan tentang bagaimana seseorang bisa menjadi kaya. Rasanya melegakan dan lebih tidak menyakitkan mengetahui bahwa seseorang memang dari sononya sudah kaya, orang tuanya kaya, dia tinggal meneruskan usahanya. Tetapi, teman si Amin ini tidak begitu. Mereka adalah teman SMA, sama-sama bersekolah di sebuah SMA yang "tidak punya nama" di pinggiran Jakarta. SMA yang namanya bila disebut selalu membuat orang memicingkan mata dan bertanya "di mana tuh?" yang disusul dengan pertanyaan-pertanyaan selanjutnya. Tidak ada orang kaya raya yang akan menyekolahkan anaknya ke sekolah antah-berantah itu bukan? Well, ada, mungkin. Tapi tidak banyak. Dan yang jelas teman si Amin yang kita ilustrasikan ini bukan anak orang kaya.

Maka, kekayaan teman si Amin, boleh dikatakan adalah sebuah Black Swan. Black Swan adalah sebuah kejadian yang tidak pernah diduga-duga, sebuah kejadian random yang mempunyai dampak yang amat besar. Kemunculannya hampir mustahil untuk diprediksi, namun setelah terjadi biasanya barulah orang-orang mulai mencari penyebabnya dan membuat rasionalisasinya. Contoh Black Swan seperti sukses Google, Harry Potter, penemuan komputer, peristiwa 11 September (WTC) hingga bencana-bencana alam skala besar.

Saya akan mencoba menjelaskan perbedaan Amin dan temannya dengan teori Black Swan dari Nassim Nicholas Taleb. Buku The Black Swan, The Impact of the Highly Improbable (Taleb, 2007) telah diterjemahkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama tahun 2009. Salah satu bagian dalam buku itu bercerita tentang Scalability, Extremistan dan Mediokristan, serta perbedaan antara spekulator dan pelacur.

Perbedaan antara Amin dengan temannya terletak pada nature pekerjaan mereka. Amin adalah seorang konsultan/trainer, sedangkan temannya adalah seorang pedagang. Menurut buku Black Swan, profesi Amin termasuk yang tidak scalable, sementara profesi temannya scalable. Apa maksudnya?

Taleb menulis pada bab 3, salah satu nasihat paling baik yang pernah didapatnya dalam hidup adalah agar mengambil profesi yang scalable. Yakni profesi yang membuat Anda dibayar tidak melulu berdasarkan jam kerja dan, karena itu, imbalannya dibatasi oleh kuantitas pekerjaan Anda.

Dengan cara yang sederhana, profesi-profesi di dunia ini dapat dikategorikan ke dalam dua bagian. Dokter gigi, konsultan, tukang pijat, dan pelacur adalah contoh-contoh profesi yang scalable. Ada batas dalam jumlah pasien dan klien yang dapat Anda tangani dalam rentang waktu tertentu. Dalam profesi-profesi ini, tidak peduli setinggi apapun bayaran Anda, pendapatan Anda tunduk pada gravitasi. Dengan kata lain, dalam profesi tersebut tidak akan terjadi Black Swan.

Sementara, apabila Anda seorang pedagang, pengusaha, spekulator, penulis, pencipta lagu, profesi-profesi ini memungkinkan Anda untuk duduk-duduk saja sementara barang-barang dagangan Anda terjual; bila Anda penulis buku/lagu tinggal menunggu transferan royalti masuk ke dalam rekening Anda ketika Anda sedang berlibur atau melakukan kegiatan mengasyikkan yang lain.

Namun hati-hati dengan profesi yang scalable. Taleb sendiri mengingatkan bahwa profesi yang scalable juga penuh dengan ketidakpastian. Di antara ribuan orang dengan profesi ini, mungkin hanya beberapa yang sukses. Yang ceritanya sampai ke telinga kita adalah yang sukses, berapa banyak yang gagal di luar sana ceritanya tidak pernah sampai pada telinga kita, karena cerita-cerita seperti itu memang tidak pernah disebarkan.

Berkaitan dengan scalable dan nonscalable, Taleb juga bercerita tentang area Mediokristan dan Extremistan. Mediokristan adalah wilayah yang didominasi oleh yang serba sedang, dimana tidak ada satu kejadian pun yang akan secara signifikan mengubah agregat atau keseluruhan. Pengamatan yang paling besar akan mengesankan, tetapi pada akhirnya tidak signifikan terhadap keseluruhan.

Ambil contoh, misalnya di sebuah desa ada seorang yang mempunyai berat badan hingga 200 kg, yang membuat heboh seluruh desa bahkan menjadi berita nasional. Atau orang yang tingginya hingga 3 meter misalnya. Betapapun spektakuler berat badan dan tinggi badan seseorang di desa itu, tidak akan punya pengaruh penting terhadap tinggi badan dan berat badan rata-rata desa itu.

Berbeda dengan misalnya, penjualan buku. Bariskan seribu orang pengarang dan di dalam barisan itu tempatkan seorang JK Rowling. Tentu saja jumlah pembaca/pembeli buku kelompok itu akan amat sangat terpengaruh. Sama halnya dengan penjualan buku, kekayaan adalah penghuni negara Extremistan. Bariskan seribu orang dan di antaranya terdapat seorang Bill Gates, maka tentu saja angka rata-rata pendapatan mereka akan melejit.

Tinggi badan, berat badan, konsumsi kalori, pendapatan seorang pelacur, pendapatan seorang dokter gigi, angka kematian, IQ, semua termasuk dalam area Mediokristan dan nonscalable. Sementara kekayaan, penjualan buku per pengarang, kematian dalam perang, kematian akibat ulah teroris, adalah beberapa contoh yang termasuk dalam area Extremistan dan scalable.

Di daerah Extremistan jumlah total ditentukan oleh sejumlah kecil peristiwa ektrem. Di sini berlaku efek "pemenang mendapatkan hampir semuanya" dan di sinilah tempat peluang terjadinya Black Swan.

Singkat cerita, apabila Anda mengharapkan Black Swan, maka janganlah berada pada area Mediokristan. Ubahlah profesi Anda menjadi scalable dan kekayaan Anda menjadi tidak terbatas pada batasan-batasan fisik, dengan segala resikonya.

Nah, apa yang harus dilakukan oleh Amin, bila dia menginginkan kekayaan seperti temannya?

Mencoba mempraktikkan teori dalam buku ini, maka yang harus dilakukan Amin adalah membuat pekerjaannya scalable. Dia sudah sukses menjadi seorang konsultan dan trainer terkenal. Sementara sang teman (yang filthy rich itu) tidak pernah terdengar namanya oleh publik, Amin adalah seorang tokoh, mendekati selebriti. Namanya sering disebut dalam berbagai media massa. Penampilannya pun keren. Tentu saja dia harus selalu tampil necis sebagai seorang konsultan. Sementara temannya, selalu mengenakan T-shirt dan celana jins, bahkan kadang celana pendek. Sering disangka sopir apabila mengemudikan mobil-mobil mewah miliknya.

Sama dengan temannya yang menjual produk, maka yang dijual Amin adalah ide atau pengetahuan. Pengetahuan ini harus dijadikan produk, yang kemudian dapat disampaikan/di-deliver tidak melulu oleh dia sendiri. (tetapi bisa diteruskan oleh karyawannya) Dengan cara itulah profesi dia menjadi scalable. Katakanlah nama Amin sekarang kita ubah menjadi Ary Ginanjar Agustian. Lalu dia menulis buku, dia mengembangkan sebuah teori, dia membuka pusat training yang kemudian menjadi sangat besar bernama ESQ. Ary Ginanjar dan ESQ adalah sebuah Black Swan.

Atau bisa saja nama Amin kita ubah menjadi Jamil Azzaini, seorang trainer/motivator juga yang kemudian mengembangkan Kubic Leadership. Atau bagaimana kalau kita ganti Amin menjadi Hermawan Kertajaya, yang mengembangkan MarkPlus yang kemudian dapat dijalankan oleh konsultan-konsultan lain, bukan melulu oleh dirinya sendiri? Untuk itu Amin harus membangun sebuah sistem yang terstruktur yang akan mudah untuk dijalankan oleh orang lain yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata, tidak harus melulu oleh dia sendiri. Jika tidak, maka Amin akan terjebak dalam area Mediokristan.

Atau, Amin bisa membuat produk. Produk yang bisa dijual sehingga pendapatan akan tetap datang meskipun Amin tidak sedang bekerja. Misalnya saja, ambil contoh terdekat, seorang dokter kecantikan. Dokter-dokter kulit ini --- yang menjadi teman akrab para wanita begitu memasuki usia 30 --- biasanya membuat produk mereka sendiri. Mereka meracik obat-obat sendiri sehingga pasien, bila cocok, tidak selalu harus kembali ke dokter, tetapi cukup memesan obatnya saja. Bila seorang dokter kulit kemudian terkenal, dari mulut ke mulut biasanya, tentu saja barisan panjang selalu terjadi dalam kamar praktiknya dan obatnya pun laku keras. Untuk yang ini, berpeluang untuk menjadi Black Swan.

Apalagi kalau dokter itu kemudian membuka klinik. Dan klinik itu di franchise. Kekayaan dapat bergulir menjadi bola salju dengan cepat apabila sudah dalam track-nya. Dan langkah itu bisa sedemikian cepat, sehingga dia menjadi fenomenal dan dapat disebut sebagai Black Swan.

Nah, apa produk (tangible) yang dapat dibuat oleh Amin? Well, entahlah. Mungkin karena itulah para konsultan (HR, misalnya) banyak yang menerbitkan buku, menjual produk-produk lain selain konsultansi, membuat produk-produk seperti alat tes, buku-buku panduan, dll yang dapat di-leverage dengan memanfaatkan gagasan utama dari si pemilik.

Nah, sekarang, bagaimana dengan Anda? Apakah Anda mengejar "yang pasti-pasti saja" atau apakah Anda seorang pemburu Black Swan? Taleb mengingatkan, Extremistan bukan tempat paling aman untuk didatangi, kecuali, jika Anda adalah seorang pemenang.
Readmore »»
at 9:51 PM 3 comments
Wednesday, November 04, 2009

Black Swan dalam Lonely Planet Story



“Once while traveling across the sky, this lonely planet caught my eye,” demikian Tony Wheeler bernyanyi pada suatu hari. Tanpa disadarinya, dia telah salah menyanyikan lirik lagu Space Captain (Joe Cocker) yang kemudian dikoreksi oleh Maureen, istrinya.

“Bukan begitu liriknya,” kata Maureen, “Yang benar adalah lovely planet.” Namun, meskipun mengakui kekeliruannya, Tony tetap merasa lonely planet kedengarannya lebih bagus. Dan begitulah cara nama Lonely Planet ditemukan.

Meskipun terdengar tidak serius dan jauh dari kesan bisnis, nama itu jelas adalah nama yang sulit dilupakan. Kini nama itu sudah menjadi sangat familiar di kalangan pelancong, khususnya para pelancong mandiri yang tidak butuh tour guide atau tour agent. Sebagai brand, Lonely Planet termasuk salah satu brand yang dicintai, sebuah brand yang memiliki engagement yang baik dengan pemakainya. Pada tahun 2004 terpilih menjadi salah satu dari 10 brand terbaik di Asia Pacific dalam Interbrand Readers’ Choice Brand of the Year, dikalahkan oleh Sony, Samsung, Toyota, LG, dan Singapore Airlines.

Tentu saja kesuksesan Lonely Planet, sama seperti banyak kisah sukses lainnya, bisa dikatakan sebuah Black Swan (suatu kejadian yang tidak pernah diduga sebelumnya) juga. Sama seperti penemuan namanya yang terjadi secara tidak sengaja, bisnis penerbitan buku panduan juga bukanlah sesuatu yang direncanakan Tony dan Maureen Wheeler ketika muda. Mereka adalah fresh graduate dari London, pada waktu itu Tony sudah mendapatkan pekerjaan dari Chrysler, namun dia memutuskan untuk melakukan perjalanan terlebih dahulu sebelum mulai bekerja. Surat panggilan dari Chrysler itu hingga kini masih disimpan oleh Tony.

Semua berawal dari sebuah perjalanan fenomenal yang mereka lakukan dari Eropa menuju Australia. Lewat darat. Perjalanan itu melewati tempat-tempat eksotis di Asia, seperti Afghanistan, India, Nepal dan Asia Tenggara, termasuk tentu saja, tanah air kita tercinta.

Bisa Anda bayangkan, pada saat itu masih tahun 1971-1972, masih sangat jarang orang Eropa yang melakukan perjalanan ke tempat-tempat eksotis itu. Thailand baru mulai membuka dirinya untuk pelancong, dan Pantai Kuta---seperti dilukiskan dalam buku ini---hanya memiliki satu jalan setapak berpasir menuju pantai dan akomodasi hanya ada Hotel Kuta Beach dan dua lusin losmen.

Setelah mereka berhasil melakukan perjalanan itu, tentu saja banyak sekali pertanyaan, bagaimana kalian melakukannya? Bagaimana kalian, misalnya, menyeberangi Afghanistan menuju India? Dan berbagai pertanyaan lain, serta pada saat yang sama mereka sempat kehabisan uang di Australia, yang membuat Maureen berpikir, mengapa mereka tidak membuat buku panduan perjalanan? Maka lahirlah buku pertama mereka, Across Asia on the Cheap.

Buku ini mendapat sambutan yang sangat baik di Australia, yang tentu saja kemudian mendorong lahirnya buku-buku selanjutnya. Sementara pertanyaan tentang perjalanan mengilhami lahirnya Lonely Planet, buku Lonely Planet Story ini juga ditulis dengan alasan yang sama---karena orang-orang terus bertanya, “Bagaimana ceritanya dua orang backpacker dengan 27 sen akhirnya bisa mengelola perusahaan multinasional?”

Jawaban pertanyaan itu diurai dalam 565 halaman buku ini. Banyak cerita yang menarik, selain cerita petualangan dalam perjalanan ke negara-negara eksotis (yang sekarang sudah menjadi tidak terlalu eksotis lagi), buku ini juga memuat banyak kisah jatuh bangun sebuah perusahaan, tentang membangun sebuah perusahaan start-up dari nol, dan liku-liku bisnis penerbitan buku panduan. Kita bisa menemukan black swan-black swan kecil di dalam sebuah black swan besar kesuksesan Lonely Planet.

Seperti misalnya, cerita bagaimana Steve Hibbard diangkat menjadi CEO Lonely Planet. Pada 1993, Lonely Planet telah mencapai tahap menjadi perusahaan yang dijadikan objek studi kasus mahasiswa sekolah bisnis. Suatu hari sebuah kelompok mahasiswa dari Melbourne Business School meminta data seperti “diagram alir” dan “struktur hirarki” perusahaan, sebuah permintaan yang menurut Tony dan Maureen cukup menghibur, karena mereka tidak memilikinya.

Setelah itu mereka pun mendatangi presentasi kelompok mahasiswa tersebut dan menyimak pada waktu mahasiswa menjelaskan apa yang telah membuat mereka sukses dan memaparkan tantangan yang akan mereka hadapi di masa depan.

Tidak lama setelah itu, Steve Hibbard, salah satu dari kelompok mahasiswa itu, mengusulkan agar dia bekerja untuk Lonely Planet selama enam bulan untuk mengidentifikasi area-area yang memerlukan perbaikan untuk membawa perusahaan ke depan. Tony dan Maureen berpikir, mereka selama ini menjalankan perusahaan dengan cara mereka sendiri, kurang memberi perhatian pada sisi “bisnis,” keputusan dibuat dari hari ke hari dan kurang perencanaan serta analisa secara keseluruhan serta pengawasan terhadap pembelanjaan.

Di situlah Steve mulai bekerja. Alih-alih hanya enam bulan, dia telah bersama Lonely Planet selama sepuluh tahun. Mulai dari jabatannya sebagai general manager, dia telah memasukkan kedisiplinan dalam perencanaan bisnis Lonely Planet, hingga dia pun diangkat menjadi CEO.

Pada bab-bab terakhir Tony juga menjawab suatu hal yang menjadi pertanyaan kita semua, bagaimana Lonely Planet menjawab tantangan perkembangan internet, dimana banyak informasi panduan wisata begitu mudah diakses secara gratis? Lonely Planet jelas tidak ketinggalan dalam era “information superhighway” ini. Di buku ini juga dipaparkan pandangan Tony tentang perkembangan teknologi.

Pada bagian terakhir terdapat tulisan Maureen yang menganalogikan Lonely Planet sebagai anak mereka sendiri. Saya kutip dari buku:

“Saat anak-anakmu masih sangat kecil, mustahil untuk membayangkan kehidupan ketika mereka takkan tinggal bersamamu, ketika kau takkan melihat mereka setiap hari atau mengetahui apa yang mereka lakukan. Saat mereka tumbuh dewasa kau pelan-pelan melepaskan dirimu dari diri mereka sampai tiba harinya ketika kau memandang anakmu dan melihat orang dewasa yang terpisah, dan menyadari bahwa peran yang kaumainkan dalam hidup mereka tak lagi sentral. Sulit mengakui bahwa anakmu sudah mandiri, tetapi hal tersebut juga teramat membebaskan.”


(Tulisan ini adalah resensi saya yang kedua untuk buku Lonely Planet Story tulisan Tony dan Maureen Wheeler yang versi Indonesianya diterbitkan oleh Mizan. Resensi yang pertama untuk PortalHR menyorot sisi HR dari kisah ini sementara resensi yang ini berfokus pada hal-hal yang mempunyai relevansi personal untuk saya. Thanks for reading!)

No comments:

Post a Comment